TOP 10 Ways New FOREX Traders LOSE MONEY (10 cara ngetop bagi pemula utk kehilangan uang)
1 Lack of Experience (Kurang jam terbang dan pengalaman)
2 Unreasonable Expectations (Harapan yang tidak bisa menjelaskan / harapan berlebihan)
3 Absence of a Sound Trading Plan (Tidak mengikuti Strategi yang telah ditentukan)
4 Lack of Discipline (Kurang disiplin)
5 Failure to Include Stop-Loss and
Take-Profit Instructions (Gagal dalam menentukan batas kerugian dan ambil keuntungan)
6 Excessive Leverage (Daya ungkit yang terlalu besar)
7 Holding Too Many Open Trades (Mempertahankan terlalu banyak Open Posisi)
8 Holding Losing Positions Too Long (Mempertahankan kerugian yang masih berjalan terlalu lama)
9 Ignoring Rate Spread Fluctuations and
the Impact Spreads Have on Profitability ( Melewatkan kesempatan keuntungan dari fluktuasi spread)
10 Thinking About the "Big Win" More Than
Effective Cash Management (AKA Greed) - (Lebih berfikir ttg kemenangan besar dari pada mengelola cash yang efektif).
LDII Harus Berani Menindak Jamaahnya yang Tidak Mau Melakukan Perubahan
Kita bisa mentolelir perbedaan, tetapi tidak bisa mentolelir penyimpangan. Penyimpangan ini harus diamputasi. Kita memberikan kesempatan kepada orang yang menyimpang itu untuk rujuk ilal haq. Kita mengeluarkan fatwa tentang sesatnya suatu kelompok jika kita telah melakukan investigasi secara mendalam terhadap kelompok itu.
LDII adalah salah satu lembaga yang fatwa terhadapnya terkait dengan Islam Jama’ah, karena ada prinsip-prinsip Islam Jama’ah yang dianggap menyimpang. Adapun fatwa MUI khusus tentang LDII tidak ada, namun jika ia menggunakan ajaran-ajaran Islam Jama’ah yang prinsip-prinsipnya menyimpang itu, maka ia terkait juga dengan fatwa tentang kesesatan Islam Jama’ah. Memang ada satu keputusan Munas MUI yang menyinggung nama. Dalam satu rekomendasi dinyatakan bahwa “Aliran sesat itu seperti Ahmadiyah, LDII.... .“ Kalimatnya berbunyi seperti itu. Kenapa LDII dijadikan bagian yang sesat? Karena LDII dianggap sebagai penjelmaan Islam Jama’ah.
Sesudah itu, LDII berusaha meninggalkan hal-hal yang menyebabkan kesesatannya itu. Mereka meminta audiensi ke MUI Pusat untuk mensosialisasikan apa yang disebutnya sebagai paradigma baru. Paradigma baru ini menegaskan bahwa LDII tidak menggunakan ajaran Islam Jama’ah sebagai satu landasan, meski dalam beberapa ajaran ada yang sama, yang berkaitan dengan amaliah, bukan i`tiqadiyah. Mereka meninggalkan ajaran Islam Jama’ah seperti menganggap najis kelompok lain. Mereka tidak lagi mencuci bekas tempat shalat orang lain, tidak mengkafirkan kelompok lain. Bahkan, mereka bersumpah di hadapan MUI Pusat bahwa itu bukanlah taqiyah. Sesudah itu mereka membuat pernyataan tertulis untuk menegaskan perubahan itu.
Dalam memandang LDII, MUI Pusat terbagi dalam dua pendapat. Pertama, kita menerima, kemudian kita lakukan penyesuaian ke daerah. Klarifikasi secara nasional diberikan, sedangkan klarifikasi di daerah diberikan secara parsial. Kedua, ada juga kelompok yang sangat mencurigai LDII, dan meminta klarifikasi dilakukan dari tingkat bawah (bottom up), baru klarifikasi nasional. Dengan demikian, ar-ruju’ ilal haq dilakukan secara qaulan wa fi`lan (dalam ucapan dan tindakan), bukan hanya statemen.
Ketika LDII dianggap melakukan ar-ruju` ilal haq, LDII dianggap sebagai entitas yang pernah melakukan penyimpangan, karena LDII dikaitkan dengan Islam Jama’ah. Dalam perjalanannya, LDII memiliki keinginan untuk kembali kepada kebenaran. Namun, ada kelompok-kelompok yang sangat keras, menentang, seolah-olah LDII tidak boleh bertaubat.
LDII sekarang dalam tahap verifikasi secara kelembagaan maupun secara grass roots. Saya melihat, secara kelembagaan mereka tidak ada masalah, dari pengurus pusat hingga pengurus daerah memiliki satu kata. Namun di tingkat bawah, kemungkinan masih ada masalah, karena masih ada generasi LDII yang berpegang pada Islam Jama’ah. Namun demikian, kondisi di bawah tidak sepenuhnya bisa kita jadikan indikasi bahwa LDII belum berubah. Kita meminta ketegasan dari pengurus LDII dalam menyikapi kadernya yang masih meneruskan ajaran Islam Jama’ah. Kelompok-kelompok yang tidak patuh harus dinyatakan bukan bagian dari LDII. Sehingga LDII tidak lagi terkontaminasi oleh kelompok-kelompok itu.
Tidak Boleh Sembarang, Tanpa Penelitian
Saya ingin menyampaikan bahwa memang menarik mengkaji perkembangan Islam di Indonesia. Bagian dari perkembangan tersebut, kita harus lihat LDII di situ. Jadi kita tidak boleh (menuding) sembarang, tanpa data dan fakta dari hasil penelitian. Karena saya tidak punya data yang cukup, saya tidak ingin memberikan vonis kepada LDII. Jadi saya anjurkan untuk melakukan penelitian yang mendalam, secara kekerabatan, tidak seperti polisi atau jaksa yang sedang menyelidik.
Intinya secara ukuwah Islamiyah. Jadi tahu bagaimana sejarahnya, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan lain sebagainya. Jadi, sebagai ilmuwan, kita tidak boleh ngomong seperti orang awam. Itu harapan saya.
LDII Perlu Konsisten dengan Paradigma Barunya
Konsep paradigma baru LDII sudah bagus kalau dilihat dari paparan yang mereka sampaikan. Hal itu saya kemukakan berdasarkan pemantauan saya di beberapa tempat seperti di Jakarta, Surabaya, Lampung dan Kediri. Sebenarnya, dengan paradigma baru tersebut, mereka ingin meninggalkan paham-paham yang dulu diwariskan oleh Islam Jama’ah. Bahkan sekarang, justru mereka ingin membersihkan paham-paham Islam Jama’ah tersebut, jika memang masih ada di dalam tubuh gerakan LDII. Paradigma baru LDII adalah suatu cerminan bahwa mereka ingin kembali ke pangkuan Majelis Ulama Indonesia untuk mendapatkan pembinaan, dan merupakan keinginan bersatu LDII dengan segenap kekuatan Islam Indonesia.
Namun demikian, proses sosialisasi paradigma baru LDII yang mereka lakukan baru sampai tingkat PAC, belum sampai ke grass roots. Kalau begitu kenyataannya, sosialisasi tersebut harus terus ditingkatkan dan diupayakan secara cepat dan maksimal. Selama ini, memang kita masih melihat dan mendengar laporan dari para pengurus atau pimpinan Majelis Ulama Indonesia, baik di Provinsi, Kabupaten atau Kota maupun MUI Kecamatan di mana di beberapa tempat masih ada pola-pola lama yang mereka terapkan.
Tapi pada umumnya, informasi dari MUI Provinsi dan Kabupaten atau Kota menyatakan bahwa sudah bagus pembinaan di internal LDII. Mereka (LDII) juga sudah membuka komunikasi dengan MUI dan ormas-ormas yang lain, meski di beberapa tempat masih terdapat kekakuan dari pihak LDII sendiri dalam berbaur dan dalam meninggalkan kesan-kesan eksklusifnya. Inilah sosialisasi paradigma baru LDII yang sedang dalam proses tersebut.
Pengurus LDII, baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten sudah cukup tegas dalam menerapkan paradigma barunya. Bahkan, beberapa kali saya mendengar ucapan dari para pimpinan LDII Provinsi yang mengatakan, ”Andaikata masih ada yang menerapkan pola lama dan menjalankan paham-paham Islam Jama’ah, maka kepada mereka diminta untuk keluar dari LDII, dan dianggap itu bukan warga LDII.” Jadi, kalau melihat ketegasan semacam itu sih, saya agak optimis bahwa paham-paham tentang Islam Jama’ah secara bertahap akan ditinggalkan oleh organisasi LDII ini.
Sebenarnya, ajaran LDII itu perlu pendalaman dan penelitian lebih lanjut, karena di lapangan yang saya temukan hanya di permukaan. Tentunya, jawaban saya tidak begitu valid, karena belum mendalami apa yang terjadi di lapangan. Sebatas yang saya dengar, sebatas apa yang saya lihat, dan kesimpulan dari diskusi-diskusi dengan MUI di Provinsi dan Kabupaten, dimana memang masih ditemukan masalah-masalah implementasi di lapangan terkait dengan paradigma baru LDII. Ini harus terus dipantau sejauh mana mereka jujur, ikhlas, terbuka dan bertanggungjawab untuk melaksanakan paradigma barunya. Apakah itu menyangkut sesuatu yang sangat rahasia, ataupun yang biasa mereka buka itu, mestinya dilakukan pemantauan dan penelitian lebih lanjut di lapangan secara mendalam.
Sekarang ini, saya bukan melakukan penelitian ansih, tetapi (juga menggelar pelbagai kegiatan) seperti yang dilakukan di MUI Provinsi DKI Jakarta, itu juga dilakukan MUI di Provinsi yang lain yang saya temui. Jadi, sebenarnya kami memantau apa yang terjadi pada saat dilakukan klarifikasi antara LDII dengan MUI dan ormas-ormas lainnya di beberapa daerah. Ini bisa dikatakan sebagai sampel, atau sekedar melihat di beberapa daerah secara terbatas, dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana sih sosialisasi yang mereka lakukan, dan sejauh mana pula masalah-masalah yang muncul dapat diketahui oleh Majelis Ulama Indonesia di beberapa daerah yang saya datangi tersebut.
Mereka Kita Anggap Mutanaththi`
Airan atau madzhab atau firaq islamiah itu, sepanjang masa akan tetap ada. Kajian mengenai al-Firaq al-Islamiah (firqah-firqah Islam) dan al-Firaq al-Kharijah `anil Islam (firqah-firqah yang keluar dari Islam) adalah salah satu mata kuliah wajib di Timur Tengah, baik itu di Ummul Qura Makkah maupun di Al-Azhar Kairo. Yang termasuk firqah Islam adalah Mu`tazilah, Khawarij, Jabariah, Qadariah, Murji’ah, Jahamiah; Syi`ah, Syi`ah Itsna `Asyariah, Imamiah, dan Zaidiah. Sedangkan firqah yang keluar dari Islam yaitu Syiah Ismailiah, Bahaiyah, Qadianiyah, dan lain-lain. Kelompok kedua ini dianggap keluar dari Islam karena mereka mengingkari prinsip-prinsip ma`ulima minaddin bidhdharuri (prinsip yang sangat fundamental dalam Islam).
Orang atau kelompok yang mengingkari ma’ulima minaddin bidhdharurah54 bisa dikategorikan sesat. Sedangkan kelompok atau orang yang mengingkari ma`ulima minaddin bitta`allum (hasil pemikiran/telaah/ijtihad) tidaklah sesat. Sampai-sampai, golongan Khawarij pun masih dianggap sebagai bagian dari kelompok Islam (firaq islamiah), padahal mereka telah membunuh Sayidina Ali Karramallahu Wajhah.
Di dalam Islam terdapat beragam aliran dan golongan. Sebagian besar golongan tersebut tidak bisa dianggap sesat, karena ada dua perbedaan, yaitu perbedaan yang bersifat wacana dan perbedaan yang bersifat aksi/amal. Lha, LDII ini perbedaannya amal. Mereka tidak kita anggap sesat, tetapi mutanaththi`, tanaththu`, orang yang eksklusif, kelompok eksklusif. Namun demikian, LDII masih dalam bagian firqah islamiah, karena meyakini apa yang disebut ma’ulima minaddin bidhdharurah, meski dalam beberapa hal LDII (menurut beberapa kalangan yang mengamati organisasi ini) berbeda dengan mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat tertentu. Perbedaan penafsiran itu sendiri dalam banyak kesempatan dibantah oleh pengurus LDII. Seandainya dugaan para pengamat itu benar, perbedaan itu tidak menyebabkan LDII menyandang label ”sesat.” Itu tidak sesat, hanya salah atau sempit. Itu tanaththu`, mutanatti`, hatta Khawarij kita tidak mengatakan sesat. Padahal dia yang membunuh Sayidina Ali, kita tidak mengatakan sesat, tetapi mutasyaddid, mutatharrif.
Mutasyaddid (keras) dan mutatharrif (ekstrem atau keterlaluan) itu berbeda dengan menyimpang. Yang menyimpang adalah yang mengingkari ma`ulima minaddin bidhdharurah, yang bitta`allum tidak. Allah punya sifat berapa dan apa, itu bitta`allum. Di kalangan NU dan di kalangan Pesantren, ada juga kalangan yang eksklusif. Sampai-sampai, kaum perempuan sama sekali tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Ada sebagian orang membaca takbiratul ihram berkali-kali, karena was-was, seakan-akan harus hati-hati. Justru hal ini adalah bagian dari sifat keterlaluan dan berlebihan.
LDII tidak bisa disamakan dengan Ahmadiah. Ahmadiah itu sesat karena mengingkari ma`ulima minaddin bidhdharurah, mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Saya menanggapi perubahan paradigma LDII secara positif. Paradigma Baru LDII harus disikapi dengan positif. Mereka (LDII) mengakui kesalahan, dalam tanda petik: kesalahan ajarannya atau kesalahan doktrinnya, bukan kesalahan aqidah. Aqidah nggak salah, dari awal nggak salah. Aqidah dia rukun iman yang enam itu. Rukun Islamnya juga sama. Ya seperti pesantren dulu, dimana Bahasa Inggris itu haram. Sekarang, justru membolehkan. NU sendiri, pada Muktamar tahun 30-an itu mengharamkan pakai dasi atau pakai celana. (Sekarang, tidak).
LDII yang saya ketahui itu kan sebuah organisasi Islam. Yang awalnya dari LEMKARI kemudian menjadi LDII. Nah, sebelumnya ada yang namanya Islam Jama’ah. Sebelum Islam Jama’ah, ada yang namanya Darul Hadits. Jadi, itu proses dimulainya sebuah tafsir terhadap ajaran-ajaran Islam tentang imamah (tentang jama’ah) kemudian implementasinya dalam bentuk gerakan, yang namanya gerakan Islam Jama’ah atau Darul Hadits.
Sebetulnya, ajaran inti dari yang kita kenal Islam Jama’ah itu adalah mengenai kejama’ahan dan keimamahan. Apa yang dipahami dari kawan-kawan Islam Jama’ah itu adalah atsar-nya dari Sayidina Umar yaitu la islama illa bil jama’ah walajamaata illa bil imamah wala imamata illa bithoah wala thoata illa bil bai’at. Kemudian mamata laisa lahu biatun mata mitatan jahiliyatan, haditsnya maupun atsarnya itu, lazim di kalangan umat Islam. Tidak merupakan sesuatu yang aneh, artinya masyhur (umum, dikenal). Yang menjadi aneh pada waktu itu adalah, kalau orang tidak masuk jama’ah, mereka itu dianggap bukan Islam. Itu masalahnya. Nah, ini kekeliruan penafsiran yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok. Kemudian oleh Majelis Ulama Indonesia dikatakan sebagai kelompok sesat. Itu adalah klaim kebenaran yang hanya ada pada mereka. La islama illa bil jama’ah. Kata-kata jama’ah itu hanya untuk Darul Hadits, Islam Jama’ah. Kan begitu awalnya. Mestinya tidak begitu. Jadi, Islam Jama’ah adalah Al jama’ah min jamaatul muslimin. Jadi, satu jama’ah dari jama’ah-jama’ahnya umat Islam. Umat Islam itu banyak jama’ahnya. Tidak satu-satunya. Nah, disini yang menjadi krusial itu.
Bai’at itu, kalau kita kembali kepada sejarah sirah nabawiyah itu, kan ada bai’at aqobah, ada bai’atur ridwan. Nah, itu berbeda. Bai’at yang pertama itu, bai’at untuk menyatakan lailaha illallah muhammadurrasulullah, dan dia siap. Di Aqobah itu, orang Aus dan Hujrat yang datang menghadap Nabi itu, siap menerima kehadiran Nabi di Madinah, melindungi Nabi di Madinah, dan siap mengikuti ajaran Nabi Muhammad. itu bai’at aqobah. Kemudian bai’atur ridwan itu adalah umat Islam yang siap untuk menghadapi apapun yang terjadi. Ketika umat Islam mendapatkan berita bahwa utusan Nabi yang ke Mekkah itu di tahan oleh Quraisy, Utsman diutus untuk negosiasi dengan orang Quraisy. Waktu itu, Nabi tidak berkehendak perang, tapi ingin melakukan ibadah haji. Tapi akhirnya ditolak. Kemudian ada perjanjian. Kemudian Nabi kembali ke Madinah. Baru kemudian 2tahun berikutnya, Nabi pergi ke Mekkah. Nah, itu bai’at, dan ada bai’at lagi yaitu bai’at kepemimpinan ketika khalifah Umar membai’at Abu Bakar sebagai khalifah. Bai’at itu sebetulnya, ya kalau bahasa sekarang, bai’at kepada khalifah atau bai’at kepada khulafaur rosyidin. Ya, demokrasi itu dimana pemilih menyatakan aku setuju dengan anda. Nah, bai’at yang di LDII atau yang sejenis itu, hakikatnya adalah sama dengan bai’at kepada pemimpin. Pemimpinnya sebagai imam yang secara spesifik itu sama dengan bai’at orang-orang thariqot. Orang-orang thariqot juga bai’atnya untuk sami’na waatho’na terhadap guru atau mursyidnya. Nah kalau orang-orang Jama’ah ini sami’na waatho’na terhadap imamnya, itu sama dengan tidak masalah. Masih tetap dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syari’at. Nah, yang bertentangan adalah tidak ada imam yang lain kecuali imamku, dan membai’at imam yang bukan imamku, batal. Itu kafir. Itu yang keliru. Siapapun yang berpandangan eksklusif semacam itu, keliru. Dan itu ciri dari jama’ah-jama’ah yang eksklusif seperti itu.
Ajaran manqul itu, sebetulnya ada dalam tradisi ulama-ulama nusantara, meskipun tidak dikatakan manqul. Itu kan ada istilah ijazah. Seorang ulama misalnya, saya pernah ngaji kepada guru saya untuk baca kitab ihya’. Setelah tamat baca ihya’, itu guru saya (kyai saya itu) memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang mengikuti pengajian itu, termasuk saya, untuk sahnya membaca ihya’. Nah, saya bisa membaca ihya’, kayak begini itu dari guru saya. Guru saya itu mendapatkan kemampuannya itu dari gurunya. Itulah yang namanya silsilah. Manqul, kalau dipahami sebagai silsilah, kayak begitu. Biasa, wajar. Persoalannya, manqul itu adalah hadits yang diajarkan oleh gurunya. Itu sajalah yang benar. Tidak ada hadits yang benar kecuali yang diajarkan oleh gurunya. Padahal, jumlah hadits itu kan ratusan ribu. Nah, bagaimana dia bisa mengatakan hanya gurunya sajalah yang sah untuk meriwayatkan hadits ini. Kan lagi-lagi eksklusif. Di situ letak kekeliruannya. Manqul pada umumnya tidak ada masalah, karena dia tidak beranggapan bahwa hanya dengan jalan inilah orang bisa masuk syurga. Kecuali, kalau tidak mengikuti jalan ini, orang masuk neraka, di situ kemudian terjadi doktrin yang menyesatkan, karena jalan untuk menuju kebenaran itu banyak. hadits itu banyak. Kitab itu banyak pendapat. Nah, ini yang mereka itu tidak ada ketika masih dalam gerakan Islam Jama’ah.
Nah, ketika sudah menjadi LDII, saya sudah mendengar, saya sudah membaca Keputusan Rakernas LDII tahun 2007 bahwa memang LDII sudah mengubah paradigma lama dengan paradigma baru, termasuk ajaran tentang Islam Jama’ah, ajaran Manqul, ajaran tentang Imamah, Keamiran dan lain sebagainya sudah dihilangkan. Mereka sudah mengikuti sawadul a’dhom. Itu tertulis. Nah, sekarang apa iya seperti itu, tanyakan kepada orang-orang LDII. Sepengetahuan saya, pernah suatu ketika saya shalat jum’at di Masjid LDII di daerah Dago (Bandung). Sampai orang-orang sebagian bubar, saya masih shalat di situ. Kemudian saya pergi. Saya tinggalkan Masjid itu, tetapi saya pergi ke rumah seorang teman yang berdekatan dengan masjid itu. Saya yakin mereka tidak tahu, kalau saya mampir di depan Masjid itu. Nah di rumah teman itu, saya perhatikan dari rumah jendela kaca, saya perhatikan betul bahwa tidak ada seorangpun yang mencuci tempat di mana saya duduk dan saya sujud di Masjid itu. Karena anggapan bahwa kalau saya bukan anggota LDII adalah najis atau orang bukan Islam, ternyata tidak ada sampai akhirnya datang waktu shalat Ashar. Ketika shalat Ashar, saya datang lagi ke tempat itu. Kemudian saya memperkenalkan diri. Saya salaman kepada mereka. Lalu terjadilah dialog. Dia tanya, ”Bapak dari mana?” Saya dari Departemen Agama, lagi ada Rapat Kerja di Badung. Kebetulan saya ada keperluan ketemu dengan teman yang rumahnya dekat sini. Lalu saya shalat disini. ”Saya mau tahu apakah sudah ada perubahan di kalangan teman-teman di LDII apa nggak?,” Katanya, kalau ada orang shalat di LDII, dicuci. Ketika saya lihat sendiri, kok tidak dicuci bekas tempat saya tadi. Nah itu gimana? Kata mereka, ”Itulah pak, fitnah yang terjadi, dimana saya mencuci bekasnya orang shalat, nggak ada, itu fitnah.” Apakah dulu memang pernah terjadi seperti itu, atau itu memang sudah terjadi perubahan? ”Saya orang LDII yang berhak untuk menjawab.” Pengalaman saya yang seperti itu tidak sekali saja. Pada waktu lebaran kemarin, saya juga shalat di Masjid Pantura yang di situ ada spanduknya yang bertuliskan ”Mengucapkan selamat Idul Fitri.” Pada kanan kiri spanduk tersebut, ada simbol Majelis Ulama Indonesia dan simbol LDII. Boleh saya katakan bahwa Masjid yang saya pakai adalah masjidnya LDII. Ternyata di situ, yang menjadi Imam Maghrib --waktu itu masih dalam bulan Ramadhan-- itu bukan orang LDII. Dan orang-orang LDII yang tinggal di sekitar masjid juga ikut berjama’ah di situ. Masjid di situ tempat lalu lalang (banyak orang), dan tidak ada cuci-mencuci itu. Itulah pengalaman saya terhadap LDII.
Sejauh yang saya ketahui, MUI saat ini sedang melakukan penelitian dan harus dichek betul tentang persoalan inti LDII itu. Karena dulu, mereka dikenal (dituduh) dengan (isu-isu) doktrin-doktrinnya seperti ajaran manqul. Mereka (diisukan) mempunyai sanad sendiri dan merasa orang Islam yang lain bukan saudaranya. Bahkan, misalnya, dahulu jika kita menduduki kursi di rumahnya, lalu kursi itu dilap (dibersihkan) lagi. Orang Islam lain dianggap najis dan lain sebagainya. Mereka memakai Hadits tentang bai’at. Menurut mereka, kalau seseorang tidak berbai’at, maka orang itu akan mati seperti matinya orang jahiliyah. Yang mereka maksud dengan bai’at di sini adalah harus bai’at kepada imamnya. Nah, karena hal inilah kemudian, umat Islam yang lain menganggap mereka berada di kelompok yang sesat.
Jika sekarang mereka mengatakan ada paradigma baru, menurut saya hal itu perlu ditelaah. Apakah mereka betul serius? Apakah benar mereka sudah merevisi ajaran-ajarannya? Apakah benar mereka sudah menganggap se-Islam ini saudara se-Islamnya, dan mereka boleh menikah dengan orang Islam yang lain, dan mereka boleh bermakmum di belakang orang Islam yang lain. Apakah sudah seperti itu? Sebab sejauh ini, meskipun ada banyak perbedaan di antara ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya, tetapi perbedaan itu tidak ada masalah. Termasuh menikah dengan ormas lain juga boleh, tidak menimbulkan masalah. Hal-hal semacam itu, saya kira perlu dievaluasi.
Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) selama ini mempercayakan masalah LDII kepada LPPI, karena LPPI memang dibentuk oleh tokoh-tokoh DDII untuk menangani masalah-masalah aliran. Dewan Dakwah tidak secara langsung melibatkan diri dalam penanganan LDII, Syiah, dan lain-lain.
Paradigma baru LDII itu perlu dicocokkan. Masalahnya, sekarang ini buku-buku yang beredar di jama’ah-jama’ah LDII itu adalah buku-buku yang lama. Apakah buku-buku dan ajaran-ajaran itu sudah direvisi? Jadi tidak cukup hanya dengan menyatakan bahwa mereka sudah berubah, tetapi kemudian ke dalamnya bagaimana? Sama dengan Ahmadiyah kan? Dalam melihat Ahmadiyah, pemerintah tidak cukup hanya dengan mendengarkan pernyataan mereka, tetapi harus melihat realita di lapangan. Itu yang lebih penting, karena masyarakat melihat sendiri kenyataan di lapangan. Misalnya, masyarakat melihat ada masjid LDII, apakah jama’ah masjid itu sudah berbaur dengan jama’ah yang lain? Kalau dulu mereka tidak mau shalat Jum’at dengan yang lain, mereka membuat jama’ah Jum’at sendiri. Nah, sekarang semua itu sudah berubah atau belum? Jadi, lebih penting praktek di lapangan, dan literatur lama itu harus ada revisi.
Mereka Sudah Mau Kembali
Sesungguhnya, saya tidak pernah mendalami tentang LDII dan bagaimana sikapnya. Tetapi banyak dari orang-orang, dari mulut ke mulut, termasuk Kyai saya di Yogyakarta yang menjelaskan bahwa LDII sudah sangat menyimpang dari Islam yang selama ini kita yakini. Kemudian saya tanya beberapa orang, ya sama bahwa LDII seperti itu. Oleh karena waktu saya mengatakan LDII itu, sudah menggunakan paradigma baru, tidak seperti apa yang selama ini kita kenal, kata beliau (Kyai Saya), sudah mutawatir berita penyimpangan itu. Kalau dia mau tukar nama, ini meyakinkan saya bahwa yang selama ini dikenal dengan paradigma lama bertentangan sekali dengan Islam yang kita kenal.
Kan baru kemarin bahwa mereka mengatakan bukan dari Islam Jama’ah dan sebagainya. Kalau saya tidak tahu persis, apa itu mulanya. Tetapi yang jelas, pertama, LDII seperti yang dianggap oleh orang banyak bahwa ada penyimpangan. Kedua, menganggap kita itu selain daripada mereka adalah najis. Banyak cerita bahwa orang kita habis shalat di tempatnya disapu atau dicuci. Ketiga, anak saya pernah ke daerah Jawa Timur. Di sana, begitu mau masuk untuk numpang shalat, ada yang bilang ini bukan untuk orang Islam yang sembarangan. Berarti yang dia Islam bener, dan kita Islam sembarangan. Di sana, saya melihat apa yang dikatakan orang yang selama ini saya dengar itu, benar adanya. Dari situlah saya memang sejak dulu nggak mau ikut campur. Saya anggap sudah lain daripada kita, walaupun saya tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tetapi dengan cerita-cerita. Saya sudah tidak menganggap mereka. Saya tidak mau mencari (kesalahannya) lagi.
Tapi setelah adanya pendekatan dari pihak LDII kepada kami dimana kami sebagai orang MUI, di situ baru kami sangat memperhatikan. Saya lihat sana, lihat sini, meskipun aduan masih ada. Tetapi kenyataannya, orang itu mau dekat. Waktu mereka mau dekat ke MUI itu, tiga bulan minta waktu untuk ketemu MUI supaya minta diterima.
Pada waktu kita menerima, masih ada di antara kita yang khawatir, jangan-jangan penerimaan kita nanti disalahgunakan oleh mereka, difoto dan sebagainya. Sampai kami harus berpikir lagi. Tetapi, kami punya satu pendirian bahwa kapan bisa kita kenal tanpa ada pertemuan. Maka dengan berhati-hati, pertemuan itu kita adakan. Ternyata saya berpikir, dari mulai hamdalahnya, saya perhatikan kok sama dengan kita. Kemudian dari situ, dia (LDII) menyatakan kenapa dia ingin bertemu dengan MUI. Ternyata, karena dia ingin menyatakan bahwa mereka sudah pakai paradigma baru. Pendirian saya, begitu mereka ingin menyatakan diri untuk pakai paradigma baru, yang mengatakan bahwa Islam yang akan mereka ikuti adalah sama dengan Islam yang kami (MUI) pegang.
Setelah itu, saya merasa punya kewajiban untuk mendekati terus, dalam arti kata, ingin mengetahui. Saya beberapa kali dicurigai oleh kawan-kawan, tapi saya pikir saya punya prinsip bahwa saya ingin mengenal siapa mereka (LDII). Saya ingin tahu betul, bagaimana pengakuannya. Saya ketemu orang MUI Pusat, dan dia mengatakan, ”Hati-hati pak Kyai.” Ya, saya akan berhati-hati, tapi saya akan tetap mendekat, karena saya tahu persis bahwa mereka secara lisan dan sikap, sudah mau kembali.
Lebih tegas lagi pada waktu diadakan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) DPD LDII Provinsi DKI Jakarta tahun 2007, di mana saya diminta untuk bisa menyampaikan pembekalan-pembekalan. Sehari sebelumnya, saya diketemukan oleh salah seorang sekretaris (LDII) yang minta diceritakan tentang ahlus sunnah wal jama’ah, karena mereka (LDII) sebenarnya menuju ke ahlus sunnah wal jama’ah. Itulah, akhirnya saya sampai ke sana. Saya penuhi undangannya. Saya cerita di samping yang menyangkut tulisan saya sendiri. Saya cerita tentang ahlus sunnah wal jama’ah, dan pengalaman saya hidup bersama-sama orang dengan berbagai paham. Kelihatannya mereka antusias menerimanya. Dari sana, saya itu makin percaya walaupun saya yakin baru segelintir dari mereka. Itu kan baru pengurusnya. Kami belum tahu bagaimana kenyataannya di masyarakat. Maka terakhir muncul gagasan, bagaimana kita kumpulkan kawan-kawan kita dan tokoh-tokoh kita dari beberapa organisasi Islam untuk bicara langsung.
Manqul itu silsilahnya dipandang oleh sementara orang, ada perbedaan, terutama tentang darimana sumbernya? sebab dalam Ilmu hadits, masalah manqul tidak asal ada saja, tetapi sumbernya dicari juga. Saya juga masih mencari itu, di mana sih kekeliruannya.
Sekali waktu diadakan pertemuan di suatu tempat. Saya bertindak sebagai imam, dan sekali waktu saya berada di tempat mereka di mana saya jadi makmum, dan tidak dicuci. Makanya, tuduhan seperti itu juga perlu kita cari kebenarannya. Artinya, kenyataannya memang begitu, apa tidak? Dalam pertemuan terakhir, tidak. Kalau toh itu masih ada, memang barangkali duapuluh atau tigapuluh tahun yang lalu.
TEMPO Interaktif, Surabaya – Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) tegaskan, Islam yang dia anut bukanlah Islam yang radikal. “Kita harus tunjukan, Islam tidak radikal, Islam sejuk dan damai,” kata Ketua Umum DPP LDIIAbdullah Syam, ketika membuka Munas LDII ke-VII di Shangri-la Hotel Surabaya, Selasa (8/3).
Sebagai Ketua Umum LDII, Abdullah mengaku beberapa kali ditanya oleh atase pertahanan beberapa negara tetangga mengenai Islam ala LDII. “Saya jelaskan ke mereka, semua yang dialamatkan ke Islam salah, Islam tidak radikal,” tegasnya.
Untuk mewujudkan Islam yang ramah, LDII telah merumuskan sistem Green Dakwah yang berisi tujuh prinsip yaitu berpedoman terhadap Al-Quran dan Hadist, kemudian Islam yang shaleh, lantas Islam yang santun dan sejuk. Selanjutnya adalah Islam yang menjunjung kemaslahatan umat, selalu menjaga lingkungan, menjaga pola hidup sehat serta prinsip terkhir, adalah Islam yang menjunjung tinggi kasih sayang.
LDII saat ini juga terus menjalin hubungan dengan pemerintahan di antaranya kerjasama dengan Menteri Kesehatan dalam membangun 49 Posko Kesehatan Pesantren dengan anggaran Rp 56 juta untuk tiap pesantren.
Di tempat yang sama, Ketua Majelis Ulama Indonesia bidang Ukwah, Umar Shihab berharap, LDII bisa meninggalkan masa lalu dan menatap ke depan dengan prinsip Islam yang benar.
Pada prinsipnya, tambah Umar, umat Islam terpecah karena dua perbedaan. Perbedaan pertama, terkait perbedaan prinsip Islam. “Seperti Ahmadiyah, pinsip Islamnya berbeda,” tambah dia.
Sedangkan Perbedaan kedua adalah menyangkut perbedaan furuiah atau perbedaan madzhab. “Perbedaan madzhab sah saja, tapi seyogyanya perbedaan ini jangan menjadikan kita terpecah,” ujarnya.
Setelah masuk di LDII,akan mengalami penggodokan cuci otak yang katanya sebagai bentuk hijrah dari alam kekafiran menuju alam keimanan.yaitu dalam rangka menjadi jamaah yang bertaqwa,dia harus berbaiat atau mengangkat seorang pemimpin menjadi imamnya.dengan mengangkat imam dalam kaca mata LDII adalah menghalalkan hidupnya,menghalalkan hartanya.selama kita belum berbaiat selama itu pula hidup kita haram.dengan berdalil “Kalo kita berada pada suatu wilayah (negara) minimal 3 orang dan salah satunya tdk mengangkat imam maka di katakan bahwa hidupnya tidak halal (nafasnya harom, sholatnya harom, hajinya harom bahkan jima’nya harom) nah kalo harom semua maka statusnya di samakan dgn org-2 kafir. Dan di katakan Bahwa Presiden bukanlah seorang imam, krn presiden hanya mengurusi masalah dunia aja, tidak pernah mengajak rakyatnya, meramut rakyatnya utk mengaji qur’an hadist (hal ini beda dgn imam kami). adapun dalil yg di gunakan:
a. Tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu daerah kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka menjadi amir (pemimpin) (HR. Ahmad)
b. Barang siapa yang mati sedang ia tidak memiliki imam maka matinya dalam keadaan jahiliyyah (HR. Ahmad)
sehingga siapapun dia,baik dia orang tua,muda,kaya,miskin,ulama,ustadz kalau tidak menetapi jamaah berimam,dan berbaiat pada imam mereka maka hukumnya kafir.dan mati sewaktu-waktu wajib masuk neraka.
Imam dalam pandangan LDII adalah orang yang membawa surga.sering dalam pengajian LDII menasehatkan dalam pembukaannya “kemudian kita bersyukur pol pada Bapak Almarhum kita KH Nurhasan Al-Ubaidah Lubis Al-musawwah.karna dengan beliau kita mendapatkan hidayah,sebab sebelumnya kita khususnya di Indonesia dalam keadaan sesat dan mati sewaktu-waktu wajib masuk neraka.maka kita kewalahan syukur pada Abah (sebutan Nurhasan) karna dia yang membuka pintu surga kita”.
“di katakan bahwa Presiden bukanlah seorang imam, krn presiden hanya mengurusi masalah dunia saja, tidak pernah mengajak rakyatnya, meramut rakyatnya utk mengaji qur’an hadist (hal ini sangat beda dengan imam kami).”
Maka ini adalah suatu kesesatan tersendiri, sebab doktrin ini mengandung unsur paham sekuler, yaitu pemisahan antara urusan dunia dan agama. Padahal yang benar islam (imam) mengatur urusan dunia dan akhirat.
Doktrin ini juga merupakan kedustaan besar, sebab kita semua tahu bahwa pemerintah kita dengan segala kekurangannya- mengurusi keamanan umat islam, perekonomian, pendidikan, ibadah haji, puasa, pernikahan, pembagian warisan, menjaga kedaulatan negara, dll. Ini adalah bagian dari tugas imamah/kepemimpinan yang mereka jalankan, dan tidak mampu dijalankan oleh imam LDII/Imam Islam jamaah, sehingga lebih tepat bila kita menyebut imam LDII sebagai Imam Batholah (imam pengangguran).
Saya katakan doktrin ini juga mengandung pembodohan terhadap umat, sebab setiap orang tahu dan menyaksikan sendiri bahwa para imam yang dibai’at oleh kaum LDII (Nurhasan,Abd dhohir dan Abd Aziz sultoh auliya)tidaklah dapat menjalankan tugas utama imamah yang telah disebutkan di atas. Adapun seruan untuk mengaji Al Qur’an dan hadits, maka hal ini bukan hanya dapat dilakukan oleh imam-imam-an LDII, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh setiap orang yang berilmu, dari para mubaligh, ulama’ dan jamaahnya.
Mereka (Nurhasan,Abd dhohir dan Abd Aziz sultoh auliya) hanyalah imam yang tidak biasa di andalkan untuk keamanan jamaahnya tatkala jamaahnya dalam keadaan bahaya atau diperhadapkan dengan hukum pemerintahan Negara.
Kedudukan imam/amir begitu sangat dirahasiakan jangan sampai orang luar(LDII) tahu.dan perlu di ingat LDII hanyalah organisasi yang hanya melindungi kelompok terselubung yang bernegara didalam negara. Sejatinya LDII adalah organisasi jelmaan yang melindungi harokah khawarij (pemborontak).
SEJARAH DAN ASAL MUASAL KHAWARIJ
Khawārij (bahasa Arab: خوارج baca Khowaarij, secara harfiah berarti “Mereka yang Keluar”) ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya dan membangngkang. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan,
Disebut atau dinamakan Khawarij disebabkan karena keluarnya mereka dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin. (Fat, juz 12 hal. 283)
Mereka terkenal dengan ketekunan dalam beribadah, seperti shalat, puasa, tilawah Al-Qur'an, zuhudan beberapa aspek ibadah lahiriyah lainnya yang tidak didapati pada mayoritas sahabat nabi. Namun sayangnya mereka menyimpang dari sunnah Rasulullah Shallallaahu' Alaihi wa Sallam dan menyempal dari kaum muslimin. Mereka telah membunuh seorang muslim bernama Abdullah bin Khabbab dan merampas binatang-binatang ternak milik kaum muslimin. Inilah bid'ah yang pertama kali muncul dalam sejarah Dienul Islam dan merupakan bid'ah yang paling banyak dikecam dalam sunnah Nabi dan para shahabatnya. Tokoh utama merekalah yang pertama kali menyanggah Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam dengan mengatakan: "Berlaku adillah wahai Muhammad, karena Anda belum berlaku adil!" Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk membunuh dan memerangi kaum Khawarij ini. Dan ini terwujud ketika para sahabat keluar bersama Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'Anhu untuk memerangi mereka.
Banyak sekali hadits-hadits nabi Shallallaahu Alaihi wa Sallam yang memerintahkan supaya memerangi mereka serta menceritakan ciri-ciri mereka. Hingga Imam Ahmad bin Hambal berkata: "Hadits tentang Khawarij ini dinyatakan shahih dari sepuluh sisi."
Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wasallam bersabda:
Salah seorang dari kalian merasa shalatnya lebih rendah nilainya daripada shalat mereka, puasanya lebih rendah nilainya daripada puasa mereka, tilawahnya lebih rendah nilainya daripada tilawah mereka. Mereka membaca Al-Qur'an tapi tidak melewati kerongkongan mereka (tidak memahaminya). Mereka telah melesat keluar dari Islam sebagaimana anak panah melesat dari busurnya. Bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai sebab telah tersedia pahala yang besar di Hari Kiamat bagi yang membunuh mereka.
Meskipun shalat, puasa dan tilawah Al¬Qur'an mereka sangat banyak, ibadah dan kezuhudan mereka teruji, namun Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tetap memerintahkan agar memerangi mereka. Ali bin Abi Thalib telah melaksanakan perintah Rasulullah tersebut bersama beberapa orang sahabat nabi lainnya. Mereka memerangi pasukan Khawarij yang telah menyimpang dari sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan syariat yang beliau bawa."
Rubrik Opini harian ini edisi 5 April 2011 memuat tulisan Said Agil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar NU, berjudul Menyikapi Kegarangan Puritanisme. Artikel tersebut ternyata berisi “fitnah” terhadap Majlis Tafsir AlQur’an (MTA). Oleh karena itu, MTA perlu menanggapi karena tulisan tersebut dapat mencitrakan MTA secara keliru.
Majlis Tafsir Al-Qur’an Surakarta adalah lembaga dakwah Islamiyah, didirikan oleh Ustad Abdullah Thufail Saputra (1927-1992) pada 19 September 1972. Ustad Abdullah Thufail adalah murid ulama dari Yaman. Dimasanya, beliau adalah mubalig terkenal di Solo dan sekitarnya. Pada saat menghadapai terror dari sisa-sisa G30S/PKI pada 1966, beliau terpilih menjadi ketua KKPI (Koordinasi Kesatuan Pemuda Islam) yang dibentuk oleh tujuh ormas pemuda Islam Surakarta waktu itu. Meninggalkan Bid’ah
Tekanan pada pengamalan Al Qur’an dan As-Sunnah menjadikan siswa/peserta MTA meninggalkan amal-amal yang tidak ada dasarnya dalam Al Qur’an maupun As-Sunnah. Walaupun ada hadistnya, apabila hadist tersebut daif, amal itu ditinggalkan. Misalnya, membaca Yassin pada malam jum’at karena ternyata semua hadist yang menjadai dasar adalah daif. Tahlilan yang dilakukan pada saat orang meninggal dan peringatan hari kematian juga begitu. Banyak amal lain yang oleh gerakan kembali ke Al Qur’an dan As-Sunnah dipandang sebagai “laisa minal islam, takhayul, bid’ah dan khurafat” ditinggalkan.
Gerakan kembali ke Al Qur’an dan As-sunnah yang meninggalkan amal-amal “laisa minal islam, takhayul, bid’ah dan khurafat” bukan gerakan yang baru. Muhammadiyah yang didirikan oleh KH.Ahmad Dahlan, Persis yang didirikan oleh KH. A.Hasan dan Al Irsyad yang ditokohi oleh KH Ahmad Syurkati adalah gerakan-gerakan kembali kepada Al Qur’an dan as-sunnah.
Salah satau prinsip Ustad Abdullah Thufail sewaktu mengajar di MTA adalah “Kita boleh berbeda pendapat, tetapi jangan putus silaturahmi”. Jadi alih-alih mencegah jamaah yang akan pergi tahlilan atau yasinan, alih-alih bersikap garang kepada umat Islam yang lain, justru siswa/peserta MTA di mana-mana dihadang, dicegat, diboikot, diusir dari masjid tempat mengaji, dan dipukuli. Hampir tiap binaan MTA dan cabang atau Perwakilan MTA yang abru mengalami serangan semacam itu sejak zaman Ustad Abdullah Thufail hingga zaman Ustad Sukina kini.
Serangan yang paling dahsyat sehingga Kapolda Jateng harus turun tangan terjadi di Blora pada 2003. Karena meninggalkan tradisi yang tidak ada tuntunannya dari Rasul, warga binaan MTA di desa Bangkerep, kecamatan Kunduran, Blora diusir dari masjid dan kampungnya. Mereka ditampung di MTA Pusat di Solo selama dua setengah tahun. Pada 14 September 2003, mereka (berjumlah 58 orang termasuk anak-anak yang lahir di penampungan) diantar pulang oleh pengurus MTA Pusat. Tetapi begitu rombongan masuk desa Bangkerep, orang-orang sekampung keluar mengeroyok. Mobil dilempari batu, ketua binaan MTA dipukuli dan kepala salah seorang siswa binaan dibacok. Rombongan pun kembali ke Solo.
Serangan kepada warga binaan MTA yang masih tinggal di desa Bangkerep semakin keras. Mereka tidak boleh mengambil air dari sumur tetangga, jalan menuju sawah warga MTA dipagari, tanaman jagung dibabati. Ketika Kepolisian berusaha mendamaikanorang-orang kampong hanya menerima siswa/peserta MTA kembali ke desa Bangkerep apabila siswa/peserta MTA kembali mengamalkan tradisi. Tentu saja syarat itu ditolak.
Yang terjadi di Purworejo (seperti yang ditulis Said Agil Siradj di artikelnya) pun bukan warga binaan MTA yang menghadang jamaah yang hendak melakukan tahlilan dan yasinan dengan menyebut-nyebut amalan tersebut sebagai syirik tetapi justru warga binaan MTA yang mendapat intimidasi. Kami telah mengecek hal tersebut ke pengurus pengajian Binaan MTA di Purworejo. Justru salah seorang pengurus binaan MTA diintimidasi dan seorang ibu diancam akan dibakar rumahnya apabila tetap mengaji di MTA. Menyerang, mengintimidasi atau memaksa orang lain bukan khitah MTA. Justru warga MTA akan ngalah apabila diserang dan berusaha mencari penyelesaian hukum. Itu sudah menjadi standard operating procedure di MTA dalam menghadapi gesekan dengan mayarakat atau ummat Islam yang lain.
Pengajian MTA tertib, siswa/peserta tercatat, sehingga apa yang terjadi dan dilakukan oleh siswa/peserta MTA dapat dicek. Maka, tuduhan bahwa warga binaan MTA di Purworejo mencegah jamaah pengajian yang hendak melakukan tahllilan dan yasinan itu mnjadi fitnah yang mas’ul di hadapan Allah.
Memang dalam pengajian pada setiap Ahad pagi, yang oleh Radio MTA diberi nama Jihad Pagi, maksudnya “Pengajian Ahad Pagi”. Ustad Sukina menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar tahlilan dan yasinan dengan jawaban bahwa itu tidak ada tuntunannya. Tetapi, bahwa kemudian hal tersebut ditafsirkan sebagai provokatif atau pelecehan sangat berlebihan. Islam yang Berkebangsaan
MTA menghargai dan menghormati metoda dakwah yang ditempuh oelh para perintis masuknya Islam ke Nusantara, seperti mengubah tradisi local secara perlahan-lahan. Itu adalah ijtihad para perintis tersebut dalam menghadapi agama dan kepercayaan yang sudah berurat akar di masyarakat waktu itu. Tetapi, kini metode dakwah semacam itu harus dipahami sebaga dakwah yang belum selesai. Umat Islam sekarang harus melanjutkan dakwah menuju Islam yang kafah. Kepercayaan kepada takhayul dan kurafat yang masih tersisa dibersihkan.
Citra MTA sebagai gerakan yang eksklusif dan egois juga citra yang yang jauh panggang dari api. Sebagaimana sudah diterangkan bahwa salah satu prinsip MTA adalah “Boleh Berbeda Pendapat Tetapi Jangan Putus Silaturahmi” MTA bekerjasama dengan siapapun. Kantor MTA di jalan Ranggawarsita, Solo sangat sering digunakan pertemuan Umat Islam dibawah paying MUI Kota Solo. Berbagai tokoh dari berbagai organisasi dan faham sering mengisi pengajian Ahad pagi. Memang kebanyakan mereka adalah tokoh-tokoh dari kalangan reformis/modernis, seperti Pak Amin Rais, Pak Din Syamsuddin, Pak Amidan, Pak Kholil Ridwan dan para pejabat sipil atau militer. Yang terakhir mengisi di pengajian Ahad pagi MTA adalah Dr. Muhammad Syafei Antonio.
Memang belum ada tokoh NU yang mengisi pengajian Jihad Pagi, kecuali KH Drs Zainuddin MZ yang pernah sekali datang, meski bukan atas nama pengurus NU. Oleh karena itu, melalui tulisan ini kami mengundang Said Aqiel Siradj untuk mengisi pengajian Ahad Pagi yang dihadiri lebih dari enam ribu peserta dan disiarkan melalui radio dan internet secara online.
Oleh YOYOK MUGIYATNO Sekretaris Umum Majlis Tafsir Al Qur’an Surakarta.
Dimuat di OPINI Koran Jawa Pos (14-04-2011), sebagai jawaban atas OPINI berjudul “Menyikapi Kegarangan Puritanisme” oleh SAID AQIEL SIRADJ di Jawa Pos (05-04-2011)
Rabu, 17 Agustus 2011
PPTKIS Nakal, Tangkap Saja!
BNP2TKI (11/08) –Bila ada kalangan perusahaan jasa Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang nakal, tidak beres dan tidak tanggung jawab dalam pelayanan penempatan dan perlindungan terhadap TKI, tangkap saja. Demikian perintah Wakil Bupati Pinrang, Andi Kaharudin, pada forum dialog yang diselenggarakan dalam rangkaian hari ke-9 Safari Ramadhan IV BNP2TKI di kantor bupati Pinrang, Kamis (11/08).
“Saya minta kepada para Camat dan Lurah/Kepala Desa di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, bila mengetahui ada kalangan PPTKIS yang tidak beres pelayanannya terhadap TKI, silahkan tangkap saja dan laporkan pada Bupati, nanti akan diambil tindakan tegas,” kata Andi Kaharudin.
Di depan Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat dan rombongan pejabat BNP2TKI lainnya, Andi Kaharudin mengungkapkan, bahwa TKI dari Pinrang umumnya bekerja di Malaysia dan Arab Saudi. Ia katakan, ada 13 kasus TKI dari Pinrang yang dicatatnya, yaitu: 2 kasus tidak ada izin suami dan orangtua (kasusnya sudah tertangani); 3 kasus tidak ada kontak dengan keluarga (1 kasus tertangani dan TKI-nya sudah dipulangkan, sedang 2 kasus lainnya TKI hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya); 3 kasus kontrak selesai (overstayers) TKI tidak dipulangkan; 2 kasus TKI dianiaya; 2 kasus TKI kecekaan kerja (1 meninggal dan 1 cacat/lumpuh); dan 1 kasus TKI gagal berangkat kerja ke luar negeri.
Untuk 2 kasus TKI yang tidak ada kontak dengan keluarganya, yakni: Sumarni binti Yuna, dan Nur Asia binti Tagiling, langsung dilaporkan kepada petugas BNP2TKI.
Sumarni binti Yuna, TKI asal Desa Rajang, Kabupaten Pinrang, mulai bekerja di Arab Saudi pada tahun 2004 diberangkatkan oleh PT Dwiguna Jaya Abadi, Jakarta. Hingga saat ini TKI tidak ada kontak dengan keluarga dan tidak diketahui keberadaannya.
Sedangkan Nur Asia binti Tagiling, TKI asal Desa Kanni, Kecamatan Paleteng, Kabupaten Pinrang, mulai berangkat kerja ke Arab Saudi tanggal 7 Juni 2006. Diberangkatkan oleh PT Dwiguna Jaya Abadi, Jakarta, hingga sekarang tidak ada kontak degan keluarganya.
Terhadap 2 TKI Pinrang yang tidak ada kontak dengan keluarganya ini, Kepala BNP2TKI, Moh Jumhur Hidayat mengatakan, sejauh diketahui PPTKIS yang memberangkatkan, besar kemungkinan bisa dilacak. Kecuali pengelola PPTKIS-nya meninggal semua, maka sulit untuk melacaknya.
“Kami juga sependapat dengan Wakil Bupati Pinrang, Andi Kaharudin, yang akan mengambil tindakan tegas terhadap PPTKIS nakal itu,” kata Jumhur. Ia meminta kepada para calon TKI yang akan bekerja ke luar negeri, agar melalui PPTKIS yang resmi dan bertanggung jawab.
Santuni TKI Lumpuh
Dalam acara Dialog dengan jajaran pejabat Kabupaten Pinrang itu, Kepala BNP2TKI juga memberikan santunan sebesar Rp 5 juta terhadap Hamsiah binti Langki.
Hamsiah mengalami sakit lumpuh setelah jatuh saat menjadi TKI di Arab Saudi pada tahun 2005. Ia berangkat bekerja ke Arab Saudi pada tahun 2004, kemudian dipulangkan ke Indonesia setelah mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan lumpuh sampai sekarang
Tiga Kesepakatan Indonesia – Malaysia tentang Perlindungan TKI
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan Malaysia kini akan mencapai kesepakatan mengenai perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.
“Setidaknya ada tiga hal yang akan kami sepakati,” jelasnya, Senin (25/04) kemarin.
Pertama yakni para TKI akan diberikan hari libur dalam seminggu, jika libur tidak diberikan, maka TKI berhak menerima ganti rugi uang senilai dua kali gaji.
Kedua, para TKI wajib memegang paspornya sendiri. Dan yang ketiga, kedua a negara akan bersama-sama membentuk satuan tugas untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul akibat kerja sama.
Pemerintah rencananya mengevaluasi sejumlah negara tujuan pengiriman TKI sebagai pertimbangan untuk tetap menjalin kerja sama atau tidak.
Jakarta, BNP2TKI (16/08) – Bagi warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri dan bekerja atau tenaga kerja Indonesia (TKI), harus dipastikan telah memiliki Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Pasalnya, KTKLN ini berlaku secara internasional, sehingga memastikan perlindungan bagi pemiliknya (WNI yang tinggal di luar negeri dan bekerja atau TKI, red.) lebih terjamin.
Demikian disampaikan Direktur Sosialiasi dan Kelembagaan Penempatan Deputi Bidang Penempatan BNP2TKI, Ir Yunafri, dalam Rapat Konsolidasi Penempatan TKI di Jakarta, belum lama ini. “Jika WNI yang tinggal di luar negeri dan bekerja atau TKI yang tidak memiliki KTKLN, keamanannya tidak dapat dijamin,” kata Yunafri.
Mengenai pentingnya KTKLN ini, Yunafri, secara simpel menyontohkan mengenai kasus tenaga kerja asing (termasuk WNI dan TKI) di Malaysia. Pemerintah Diraja Malaysia saat ini sedang gencar melakukan proses pemutihan dan pengampunan (amnesti) terhadap para tenaga kerja asing yang ada di negerinya. Jumlah TKI di Malaysia yang akan menjalani proses pemutihan diperkirakan sebanyak 1,2 juta.
“Jadi, kepemilikan KTKLN ini penting dan urgennya bagi WNI mapun TKI yang bekerja di luar negeri,” tegas Yunafri.
Dijelaskan Yunafri, bahwa KTKLN itu adalah identitas bagi TKI (juga WNI) yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri. KTKLN ini berfungsi sebagai instrumen perlindungan pada masa penempatan dan paska penempatan. Dibuat dalam bentuk smartcard chip microprocesor contactless yang memuat data identitas TKI, foto, sidik jari (dua jari kiri-kanan), PPTKIS, mitra kerja, pengguna TKI, paspor, asuransi, uji kesehatan, sertifikat pelatihan, sertifikat uji kompetensi, perjanjian kerja, jenis pekerjaan, negara penempatan, masa berlaku, tempat penerbitan, tanggal berangkat dan embarkasi/debarkasi.
Ditambahkannya, penggunaan smartcard berbasis chip microprocesor contactless pada KTKLN itu agar tidak mudah dipalsukan dan paling aman. Juga agar dapat menyimpan data lengkap TKI, dan dapat dikembangkan sebagai kartu multi fungsi. Data dapat ditambah dan di-update. Ketahanan penyimpanan datanya relatif lama (sampai 10 tahun), dan mudah penggunaannya.
BNP2TKI Wajib Sosialisasi
Terkait dengan sosialisasi, kata Yunafri, BNP2TKI sebagai badan publik wajib menginformasikan segala hal yang berkaitan dengan ketentuan penggunaan kepada masyarakat, calon TKI maupun TKI, agar memahami tujuan, manfaat, dan risiko apabila tidak memiliki KTKLN.
Dalam perspektif sosialisasi KTKLN ini, kata Yunafri, setidaknya ada lima prinsip sosialisasi yang dilakukan. Pertama, tepat sasaran pada semua pelaku penempatan/lembaga penempatan, untuk semua skema penempatan (G to G, G to P, PPTKIS, UKPS, Perseorangan, Pelaut, dan lain-lain.
Kedua, koordinasi dalam materi dan pelaksana sosialisasi dengan BP3TKI dan unsur instansi terkait lainnya.
Ketiga, konsolidasi wilayah dalam hal penerbitan KTKLN, validasi di bandara, embarkasi internasional, dan pendataan kepulangan di debarkasi.
Keempat, berkesinambungan. Yakni dilaksanakan secara terus-menerus, sehingga terbentuk opini yang positif bagi pelaku penempatan tentang pentingnya KTKLN sebagai dokumen kerja setiap TKI.
Kelima, materi akurat. Dalam penyampaikan kebijakan tentang penerbitan KTKLN, akurasi materi perlu disampaikan secara baik, tepat, transparan, efiisien, efektif, dan dapat dipertanggung jawabkan.
Kelima prinsip sosialisasi KTKLN inilah yang kini dilakukan BNP2TKI kepada masyarakat luas, calon TKI maupun TKI, melalui media cetak, elektronik, dan media lain yang dapat dengan mudah dikenal. Diharapkan, masyarakat pun dapat mengetahui pentingnya memiliki KTKLN ketika menjatuhkan pilihan untuk bekerja di luar negeri.
Balai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Jawa Tengah menilai, cukup banyak perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) di wilayah itu mendapat “nilai merah”.
Menurut Kepala BP3TKI Jateng, AB Rahman, di Semarang, Rabu (24/11), pihaknya telah melakukan survei terhadap sekitar 50 PJTKI di Jateng, dan hasilnya banyak PJTKI yang tidak memenuhi kualifikasi yang telah ditentukan.
“Terutama, dari fasilitas balai latihan kerja (BLK) yang dimilikinya, mulai dari ketersediaan alat, jam latihan, dan instruktur yang belum memenuhi persyaratan dan kualifikasi yang ditentukan,” katanya.
Ia menyebutkan, survei tersebut baru dilakukan terhadap PJTKI yang ada di wilayah Kendal, Kabupaten Semarang, dan Kota Semarang. Survey dilakukan pada 24 unit PJTKI dan sekitar 542 PJTKI cabang di Jateng.
“Dari survei kami, rata-rata PJTKI cabang mendapatkan ‘nilai merah’ karena pelatihan dan penyiapan yang dilakukan kepada calon TKI tidak maksimal, termasuk dari penyediaan instruktur TKI yang tidak kompeten,” katanya.
Ia mencontohkan, dalam hal ketersediaan alat untuk latihan. Banyak BLK-BLK yang dimiliki PJTKI memang memiliki alat, namun saat dilakukan pengecekan ternyata kondisi peralatan tersebut masih terbungkus plastik.
“Ini berarti menunjukkan mereka (PJTKI, red.) tidak pernah menggunakan alat itu, bahkan ada pula BLK PJTKI yang sama sekali tidak memiliki peralatan. Padahal, latihan ini penting bagi calon TKI,” kata AB Rahman.
Berdasarkan faktor jam latihan, kata dia, sesuai kurikulum yang ditentukan TKI setidaknya harus mendapatkan pelatihan selama 200 jam, namun banyak PJTKI yang tidak melakukan pelatihan sesuai ketentuan itu.
“Mereka mengaku sudah memenuhi pelatihan sesuai jam yang ditentukan, tetapi setelah kami cek ternyata tidak memenuhi. Apalagi, untuk TKI ke Hongkong dan Taiwan beban jam latihannya lebih banyak,” katanya.
Menurut AB Rahman, kondisi itu tentunya berpengaruh terhadap penyiapan TKI sebelum ditempatkan, dan kesiapan TKI itulah yang selama ini menjadi penyebab banyaknya permasalahan yang dialami para TKI di luar negeri.
“Kalau penyiapan TKI benar-benar dipersiapkan baik, setidaknya bisa meminimalisir terjadinya masalah yang dialami TKI di negara penempatan, namun selama ini proses penyiapan di PJTKI memang kurang,” katanya.
Upaya penyiapan TKI tersebut, kata dia, memegang peranan sekitar 80 persen dalam upaya perlindungan TKI, sebab dengan berbagai persiapan itu diharapkan para buruh migran minimal bisa melindungi dirinya sendiri.
“Sebagai contoh TKI yang buta huruf, mereka tentunya tidak memiliki kemampuan melindungi diri sendiri. Mau bertanya masalah kontrak misalnya, mereka minder, sebab mereka tidak bisa membaca atau menulis,” kata Rahman.
Ia mengatakan, kondisi itu tentunya menimbulkan problem, belum bisa menghadapi tugas sehari-hari, dan tidak tahu tentang apa yang diperintahkan majikan.
“Kalau majikannya sabar tidak masalah, tetapi bagaimana jika tidak,” katanya.
Pihaknya terus mengupayakan penyiapan calon TKI secara baik, antara lain bekerja sama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) terkait sertifikasi terhadap para instruktur TKI.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Shalawat Nariyah cukup populer di banyak kalangan dan ada yang meyakini bahwa orang yang bisa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat menghilangkan kesulitan-kesulitan atau demi menunaikan hajat maka kebutuhannya pasti akan terpenuhi. Ini merupakan persangkaan yang keliru dan tidak ada dalilnya sama sekali. Terlebih lagi apabila anda mengetahui isinya dan menyaksikan adanya kesyirikan secara terang-terangan di dalamnya. Berikut ini adalah bunyi shalawat tersebut:”
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب وحسن الخواتيم ويستسقى الغمام بوجهه الكريم وعلى آله وصحبه عدد كل معلوم لك Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka
Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”
Syaikh berkata:
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang di serunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah). Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik kepada para rasul ataupun para wali. Allah berfirman yang artinya:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا “Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. Al-Israa’: 57). Para ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang berdoa kepada Isa Al-Masih atau memuja malaikat atau jin-jin yang saleh (sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir).”
Beliau melanjutkan penjelasannya:
“Bagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan ikatan-ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal Al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya:
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ “Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raaf)
Pada suatu saat ada seseorang yag datang menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu wahai Rasul”, Maka beliau menghardiknya dengan mengatakan, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” Nidd atau sekutu artinya: matsiil wa syariik (yang serupa dan sejawat) (HR. Nasa’i dengan sanad hasan)
Beliau melanjutkan lagi penjelasannya:
“Seandainya kita ganti kata bihi (به) (dengan sebab beliau) dengan bihaa (بها) (dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan benar tanpa perlu memberikan batasan bilangan sebagaimana yang disebutkan tadi. Sehingga bacaannya menjadi seperti ini:
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد التي تحل بها العقد Allahumma sholli sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taamman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Allati tuhillu bihal ‘uqadu (artinya ikatan hati menjadi terlepas karena shalawat)
Hal itu karena membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah yang bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon dilepaskan dari kesedihan dan kesusahan. Mengapa kita membaca bacaan shalawat bid’ah ini yang hanya berasal dari ucapan makhluk biasa sebagaimana kita dan justru meninggalkan kebiasaan membaca shalawat Ibrahimiyah (yaitu yang biasa kita baca dalam shalat, pent) yang berasal dari ucapan Rasul yang Ma’shum?”
***
Penulis: Muhammad Jamil Zainu
Diterjemahkan oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Undangan Halal bil Halal YBM kacangan sudah dikirim dari jakarta kemarin tgl.10 Agustus 2011 sampai ke sekretariat YBM kacangan. Meski undangan sudah diterima sekretariat YBM kacangan namun belum bisa diedarkan karena alamat undangan belum tercantum. Sementara sekretariat YBM pusat yang sekarang ditetapkan berdasarkan Akta pendirian yang baru berdomisili di Jakarta belum memiliki data alamat lengkap anggota YBM rayon kacangan.
Meski demikian didalam undangan tersebut sudah tercetak susunan acara dan tempat serta tanggal penyelenggaraan acara yang ditetapkan bersama panitia yaitu tanggal 2 Syawal 1432 H bertempat di Gedung Haji (IPHI Mojo). Acara yang dijadwalkan akan berlangsung dari jam 12.00 WIB - selesai ini ditunjuk sebagai penyelenggaranya adalah dari Bani Kasan.
Mengingat kurang lengkapnya data yang dimiliki pengurus YBM maka diharapkan seluruh anggota bani Muchsin tetap dapat hadir meskipun tidak mendapatkan undangan secara resmi.
Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.
Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.
Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.
Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.
Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.
Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.
Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.
Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.
Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.
Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)
Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”
Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), , menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.
Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam
Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.
Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.
Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di hari kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”