Sabtu, 27 Juli 2013

Menyingkap kebenaran Kisah Cinta Zulaikha dan Nabi Yusuf as.

 lihat juga artikel saya sebelumnya tentang kajian doa akad nikah

(kajian tingkat lanjut tafsir surat Yusuf)


Sudah 10 hari terakhir menelusur  kebenaran kisah nabi yusuf.  Benar bahwa ini adalah kisah terbaik yang ada di dalam al qur’an yang turun untuk menghibur saat Rosululloh sedang mengalami kesedihan.
Tetapi pada prakteknya banyak kisah kisah yang sifatnya “israiliyat” beredar disekitar kita, bahkan di masyarakat Indonesia , selain kisah israiliyat juga berkembang mitos, seperti kalo orang yang hamil pingin anaknya seganteng nabi Yusuf maka sering seringlah baca surat Yusuf. he…he..pasti banyak yang mengangguk angguk ya…
bahkan banyak juga di seputar resepsi pernikahan, sang ustad mendoakan pasangan pengantinnya dengan doa seperti ini

اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا بِمَحَبَّتِكَ كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّى وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا وَمُحَمَّدٍ وَخَدِيْجَةِ اْلكُبْرَى وَأَصْلِحْ جَمْعَهُمَا فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَهَبْ لَهُمَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَقُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْهُمَا مِنْ عِبَادِكَ النَّافِعِيْنَ عَلَى دِيْنِكَ وَلِمَصَالِحِ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan Zulaikha, Nabi Muhammad Saw dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat, berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata’ kepada keduanya. Jadikanlah keduanya hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”
He..he..sampai disini yang sudah mempraktekannya ayo angkat tangan!
ternyata berdoapun harus jeli ya.
Yup.seratus! kita harus jeli ketika kita membaca literatur litarur teruatama yg berkaitan dengan kisah kisah, spesial buat kisah nabi yusuf ini kita memang sedari kecil terbiasa mendengar kisah tentang kisah indah tentang nabi yusuf, di mulai dari segi kegantengan nabi Yusuf yang di gambarkan keindahannya ibarat sepauh bulan purnama.hingga istri Qatifar yang agung (al Aziz) yang sebetulnya adalah ibu angkat Nabi yusuf ini menjebak nabi yusuf, hingga menyebabkan beliau di penjara.
Jika kisahnya hanya sampai di sini sebetulnya hampir tidak ada perbedaan,karena al quranpun menenrangkan hingga sampai di sini.
tetapi jika kemudian di bumbui dengan menikahnya Zulaikha dengan Nabi Yusuf, apalagi kemudian ada juga yang meriwayatkan bahwa kemudian Zulaikha menjadi muda kembali, wow…asyik bacanya ya..seru! tapi, kembali kita harus teliti akan kebenaran Riwayat tersebut.
palagi jika di  dalam Alquran tidak disinggung sedikitpun tentang pernikahan antara Nabi Yusuf dan Zulaikha, bahkan Alquran menggambarkan bahwa Zulaikha adalah perempuan yang tidak baik, yang mendurhakai suaminya, serta menggoda Nabi Yusuf untuk melakukan perbuatan mesum. Pertanyaannya, “Benarkah Nabi Yusuf dan Zulaikha menikah, dan menjadi pasangan sejati, penuh cinta dan rahmat, serta langgeng ke anak cucu, sebagaimana yang diceritakan secara turun temurun?” Atau, “Apakah kisah ini hanya israliyat yang tidak berdasar?”
Agar pemahaman kita menyeluruh, ada baiknya jika kita memahami dahulu apa sebenarnya definisi israiliyat.
Definisi kisah Isra’iliyat
            Riwayat isra’iliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari Bani Isra’il atau bangsa Yahudi, dari kitab suci mereka, yakni Taurat, buku-buku penjelasannya, dari Talmud dan penjelasannya, kisah-kisah, dongeng, kurafat dan kisah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Terkadang, para peneliti mengaitkan kisah-kisah dan informasi yang berasal dari Nasrani (injil, surat-surat paulus, dan berbagai buku penjelasannya) termasuk dalam riwayat isra’iliyat.
            Banyak riwayat dari Nabi Saw yang menjelaskan posisi umat Islam ketika berhadapan dengan riwayat-riwayat isra’iliyat; ada yang melarang, membolehkan dan tidak melarang sekaligus tidak membolehkan. Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah, Nabi Saw bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.
            “Sampaikan dariku walau satu ayat. Ceritakanlah dari Bani isra’il, dan tidak ada larangan. Siapa berdusta dengan sengaja terhadapku, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”
            Hadis pembolehan seperti ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis, diantaranya Shahih al-Bukhari dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, Sunan at-Tirmidzi dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, Sunan ad-Darimi dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, dan Musnad Imam Ahmad dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh dan Abû Sa`îd al-Khudri, serta Shahih Ibnu Hibban dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh.
            Sedangkan hadis yang melarang adalah:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ
جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيِِِِ.
“Umar Ibnu al-Khaththab memberikan satu buku dari Ahli Kitab, lalu Nabi membacanya dan marah, serta bersabda, “Apakah kamu kagum dengan buku ini wahai anak al-Khaththab? Demi Tuhan yang diriku berada dalam genggaman-Nya, sungguh yang aku berikan kepada kamu (Alquran) yang terang lagi murni. Janganlah kamu bertanya sesuatupun kepada Ahli Kitab, sehingga mereka mengabarkan kepada kamu yang benar lalu kamu dustai atau mereka kabarkan yang batil lalu kamu benarkan. Demi diriku yang berada dalam genggaman-Nya, jika Nabi Musa as hidup sekarang, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.” (HR. Imam Ahmad dalam al-Musnad).
Hadis yang ketiga adalah hadis yang tidak membolehkan tidak pula melarang periwayatan isra’iliyat. Nabi Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا {آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا} الْآيَةَ.
“Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, “Ahlu Kitab membacakan Taurat dengan bahasa `Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat Islam.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan jangan pula kamu dustai. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.” (HR. al-Bukhari).
Tiga riwayat di atas seolah bertentangan, namun jika ditelusuri lebih dalam, sama sekali tidak ada pertentangan di antara tiga riwayat tersebut.
Hukum Meriwayatkan Israiliyat
            Dalam menanggapi tiga riwayat yang seolah bertentangan di atas, ulama tafsir mengklasifikasikan riwayat-riwayat isra’iliyat menjadi tiga kelompok.
Pertama, riwayat-riwayat isra’iliyat yang bertentang dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini haram diriwayatkan jika tidak menjelaskan kebatilannya. Inilah yang dimaksud dalam larang Nabi pada hadis Umar bin al-Khaththab di atas. Diantara contoh riwayat seperti ini adalah kisah Nabi Sulaiman. Pada suatu saat Nabi Sulaiman ingin ke kamar mandi, dan menitipkan cincinnya kepada salah satu istrinya. Iblis pun menyerupai Nabi Sulaiman, lalu datang kepada istrinya dan meminta cincin yang dititipkan oleh Nabi Sulaiman. Istrinya menyangka yang datang adalah Nabi Sulaiman, dan memberi cincin tersebut. Dengan cincin itu, Iblis menguasai kerajaan Nabi Sulaiman dan memerintah dengan sesuka hatinya dan zalim.
            Ketika keluar dari kamar mandi, Nabi Sulaiman yang asli datang kepada istrinya untuk meminta cincin yang telah dititipkannya. Istrinya mengatakan, “Bukankah cincin tersebut telah kuberikan kepada Sulaiman!” Nabi Sulaiman yang asli pun terdiam dan hanya bisa pasrah. Sedangkan Iblis yang menyamar menjadi Sulaiman terus menguasai kerajaan dengan zalim, sampai pada akhirnya istri Nabi Sulaiman curiga karena Iblis yang menyamar menjadi Sulaiman tersebut menggauli istrinya dalam keadaan haidh, sedangkan Nabi Sulaiman yang asli tidak pernah menggauli istrinya dalam kaeadaan demikian.
            Tidak diragukan lagi bahwa kisah ini jelas bertentangan dengan Alquran dan sunnah, sehingga tidak sedikit pun dari riwayat ini dapat dijadikan hujjah. Bahkan harus dijauhkan dari kitab-kitab keislaman.
            Kedua, riwayat-riwayat isra’iliyat yang sesuai dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini boleh diriwayatkan, karena hadis pembolehan dari hadis Nabi di atas, “Ceritakanlah dari Bani isra’il, dan tidak ada larangan.” Banyak kasus bahwa para sahabat menerima dan membenarkan cerita Ahli Kitab yang sesuai dengan Alquran atau sunnah, walaupun kebenaran itu hanya satu dari beberapa kemungkinan penafsiran terhadap ayat Alquran atau hadis tersebut.
            Pada suatu hari, seorang Yahudi datang kepada Ali bin Abi Thalib, Ali pun bertanya, “Di mana neraka?” Orang Yahudi tersebut menjawab, “Di laut.” Lalu Ali berkomentar terhadap jawaban tersebut, “Jawabannya benar, karena Allah berfirman, “Dan apabila lautan dipanaskan.” (QS. At-Takwir [81]: 6). Ali membenarkan jawaban orang Yahudi tersebut walaupun hanya satu dari beberapa kemungkinan penafsiran dari ayat itu.
            Ketiga, riwayat isra’iliyat yang tidak bertentangan dengan ayat Alquran atau sunnah, serta tidak pula sesuai dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini boleh diriwayatkan, walaupun tidak menerangkan keisra’iliyatannya. Inilah yang dimaksud dari hadis nabi:
“Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, “Ahlu Kitab membacakan Taurat dengan bahasa `Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat Islam.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan jangan pula kamu dustai. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.” (HR. al-Bukhari).
menurut Ustad Muhammad Arifin Jahari seorang ustad lulusan Tafsir Ilmu alquran dari Al Ahzar Univercity.cairo mesir, bahwa  Alquran tidak menyebutkan nama Zulaikha atau nama yang lain. Alquran hanya menyebut “istri al-Aziz.” Allah berfirman:
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
            “Dan perempuan-perempuan di kota berkata, “Istri al-Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, palayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yusuf [12]: 30).
Muhammad Rasyid Ridha, dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Hakim atau lebih masyhur dengan nama Tafsir al-Manar menjelaskan bahwa Alquran tidak menyebutkan sama sekali nama istri al-Aziz bahkan nama al-Aziz itu sendiri. Alquran sama sekali tidak mementingkan nama tersebut, karena Alquran bukan kitab sejarah. Tujuan pengkisahan dalam Alquran, bukan untuk mengungkap fakta sejarah, namun untuk menjadikannya sebagai ibrah, pelajaran, dan hikmah yang dapat diambil dan diteladani dalam kehidupan. Jadi nama seperti ini tidak perlu disebutkan.
Ibnu Katsier menyebutkan nama Zulaikha, namun beliau juga hanya menggunakan istilah ’qiila’, konon. Namun, beliau juga mengatakan perihal, ”Kebanyakan penafsir dalam hal ini mengambil kitab-kitabnya ahli kitab, fal i’radh ’anhu aula (sedangkan berpaling darinya itu lebih utama). Demikian beliau sebutkan dalam kitabnya Qishash al-Anbiya’, tatkala mengisahkan tentang Nabi Yusuf AS.
        Pernikahan Nabi Yusuf dan Zulaikha
            Dalam kitab-kitab tafsir banyak yang menceritakan pernikahan Zulaikha dengan Nabi Yusuf as. Imam ath-Thabari meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa ketika Nabi Yusuf keluar dari penjara dan menawarkan diri menjadi bendaharawan Negara, Firaun pada masa itu menempatkan Nabi Yusuf di posisi al-Aziz yang membelinya. Al-Aziz pun dicopot dari kedudukannya. Tak berapa lama kemudian, al-Aziz meningga dunia, dan Firaun menikahkan Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz, Ra’il. Terjadilah dialog romantis antara Ra’il dan Nabi Yusuf:
“Bukankah kesempatan seperti ini lebih baik dan terhormat daripada pertemuan kita dahulu ketika engkau menggebu-gebu melampiaskan hasratmu”. Lalu Ra’il menjawab dengan jawaban diplomatis dan romantis, “Wahai orang yang terpercaya, janganlah engkau memojokkanku dengan ucapanmu itu, ketika kita bertemu dulu jujur dan akuilah bahwa di matamu akupun cantik dan mempesona, hidup mapan dengan gelar kerajaan dan segalanya aku punya, namun ketika itu aku tersiksa karena suamiku tidak mau menjamah perempuan manapun termasuk aku, lantas akupun mengakui dengan sepenuh hatiku akan karunia Allah yang diberikan atas ketampanan dan keperkasaan dirimu.” Nabi Yusuf mendapatkan bahwa Ra’il masih perawan. Mereka menikah dan dikaruniai dua orang anak laki laki, Afra’im (Efraim) dan Misya (Manasye). Imam ath-Thabari dan muhaqqiq tafsirnya tidak menjelaskan keisra’iliyatan riwayat ini.
Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh banyak mufassir, diantaranya Imam Fakr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, Imam az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf `an Haqa’iq at-Tanzil wa `Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, dll.
Selain kisah di atas, Imam as-Suyuthi meriwayatkan kisah lain dari Abdullah bin Munabbih, dari ayahnya, yakni ketika Yusuf lewat di sebuah jalan, mantan istri al-Aziz menampakkan diri sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai budak karena maksiat kepada-Nya, dan menjadikan budak sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.” Yusuf pun mengetahuinya lalu menikahinya, dan Yusuf mendapatinya mantan istri al-Aziz tersebut perawan karena al-Aziz tidak mampu menjamah perempuan.Kisah yang mirip juga diriwayatkan oleh Fudhail bin `Iyadh.
Kisah yang ketiga mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz diceritakan juga oleh Imam as-Sayuthi dari Wahab bin Munabbih, yakni ketika mantan istri al-Aziz memiliki suatu keperluan, lalu ada yang mengatakan kepada, “Jika engkau minta bantuan kepada Yusuf pasti akan dipenuhinya.” Mantan Istri al-Aziz pun minta pendapat kepada orang-orang, mereka mengatakan, “Jangan engkau lakukan, karena kami khawatir terhadapmu.” Mantan Istri al-Aziz pun berkomentar, “Saya tidak takut kepada orang (Yusuf) yang takut kepada Allah.” Dia pun datang menghadap Yusuf dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan hamba sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.” Ketika mantan istri al-Aziz tersebut melihat dirinya, dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai hamba karena maksiat kepada-Nya.” Yusuf memenuhi kebutuhan mantan istri al-Aziz, lalu menikahinya dan dia mendapatinya dalam keadaan perawan. Yusuf pun berkata, “Bukankah kesempatan ini lebih baik dan terhormat dari pada pertemuan yang lalu?” Mantan istri al-Aziz pun menjawab, “Ada empat hal yang membuatku melakukan hal itu: pertama, engkau adalah orang tertampan; kedua, aku adalah orang yang tercantik di masaku; ketiga, aku masih perawan; dan keempat, suamiku adalah orang yang impoten.”
Al-Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menceritakan kisah yang panjang mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Zulaikha’ ditinggal mati suaminya ketika Yusuf masih dalam penjara. Sedangkan Zulaikha’ senantiasa merindu Nabi Yusuf sampai matanya buta karena tangisannya. Zulaikha’ pun hidup sengsara, tidak ada yang peduli dengannya. Setiap kali Nabi Yusuf lewat pada sebuah jalan, Zulaikha’ pun menantinya. Sampai diusulkan kepadanya untuk mengadukan nasib kepada Nabi Yusuf. Namun sebagian orang melarangnya karena perbuatan jahatnya terhadap Yusuf dahulu. Ketika Yusuf lewat, Zulaikha’ mengatakan dengan suara tinggi, “Maha suci Tuhan yang menjadikan penguasa menjadi budak karena kemaksiatannya, dan menjadi budak menjadi penguasa karena ketaatannya.” Yusuf pun mengetahui hal itu, lalu dia memerintahkan untuk membawa Zulaikha’ ke hadapannya. Setelah bertemu, Zulaikha’ mengadukan segala penderitaan yang diembannya. Nabi Yusuf menangis mendengarkan cerita itu, dan bertanya, “Masih tersisakah rasa cintamu terhadapku? Zulaikha’ pun menjawab, “Demi Allah, melihatmu lebih aku cintai dari dunia dan seisinya.” Tangisan Yusuf pun menjadi-jadi, sampai dia pulang ke rumah. Yusuf terus berfikir akan hal ini, hingga dia mengambil keputusan untuk mengirimkan utusan kepada Zulaikha’ dan berkata, “Jika engkau janda maukah menikah denganku? Dan jika engkau masih berkeluarga, aku akan mencukupimu.” Zulaikha’ menjawab, “Aku berlindung kepada Allah, jika Yusuf memperolokku. Dia tidak menginginkanku ketika aku masih muda, memiliki harta dan kedudukan. Sekarang, dia mau menikahiku di saat aku fakir, buta, dan renta.” Nabi Yusuf memerintahkan Zulaikha’ untuk bersiap-siap menghadapi pernikahan. Lalu dia shalat dan berdoa kepada Allah untuk mengembalikan Zulaikha’ menjadi muda, cantik, dan dapat melihat. Mereka pun menikah, dan Nabi Yusuf mendapati Zulaikha’ dalam keadaan perawan, karena suaminya dahulu impoten.
Mereka hidup bahagia dan melahirkan dua orang putra. Nabi Yusuf sangat mencintai istrinya tersebut, namun, ketika istrinya sudah merasakan cinta Allah, dia pun melupakan segala sesuatu, hanya Allah yang ada dalam hatinya. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Qurthubi dari Wahab bin Munabbih.
Walau Imam al-Qurthubi tidak mengomentari keisra’iliyatan kisah ini, muhaqqiq tafsirnya, Dr. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi dan Dr. Muhmud Hamid Utsman menjelaskan bahwa kisah ini sama sekali tidak benar.
Dalam riwayat yang lain, Imam as-Suyuthi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa Nabi Yusuf menikahi mantan istri al-Aziz dalam keadaan perawan, karena suaminya (al-Aziz) impoten.
Dari penjelasan di atas, keterangan menikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz didapati setidaknya dari empat orang: Muhammad bin Ishaq, Wahhab bin Munabbih, Fudhail bin `Iyadh, dan Zaid bin Aslam. Selain diantara mereka terkenal meriwayatkan riwayat-riwayat isra’iliyat, seperti Wahab bin Munabbih dan Muhammad bin Ishaq, keempat perawi a`la ini adalah tabi’in, kecuali Fudhail bin `Iyadh, beliau adalah tabi’ tabi’in. Dalam meriwayatkan kisah di atas, mereka tidak menisbahkannya kepada sahabat nabi atau kepada Nabi Muhammad, tapi mereka nisbahkan kepada diri mereka sendiri. Ini berarti riwayatnya terputus.
Untuk menilai riwayat-riwayat di atas, setidaknya penulis menggunakan tiga penilaian: penilaian ulama hadis, ulama tafsir, dan ulama tarikh (sejarah). Ulama hadis sepakat, riwayat seperti ini dinilai lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebaliknya, ulama tarikh menerima riwayat seperti ini, karena standar periwayatan sejarah (yang tidak ada kaitannya dengan agama) tidak seketat standar periwayatan hadis, yang berkaitan dengan agama.
Sedangkan ulama tafsir berbeda pendapat dalam menerima atau menolak riwayat seperti ini. Keterangan ini, setidaknya dilihat dari dua sisi. Pertama, riwayat-riwayat yang berasal dari tabi’in. Menurut sebagian mufassir, jika riwayatnya shahih, walau berasal dari tabi’in, maka hal ini dapat digolongkan dalam tafsir bil ma’tsur. Namun, ulama tafsir yang lain berpendapat bahwa ungkapan tabi’in tidak terhitung dalam tafsir bil ma’tsur, tapi tergolong dalam tafsir bir ra’yi, jadi boleh diterima boleh tidak karena hanya sebatas pendapat tabi’in saja. Sisi yang kedua kembali pada hukum periwayatan isra’iliyat di atas. Jika diteliti, riwayat-riwayat di atas tidak bertentangan dengan Alquran, hadis, akidah, atau merusak ibadah, karena hanya berkaitan dengan penamaan istri al-Aziz dan status nikah atau tidaknya antara Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Yakin atau tidaknya seseorang akan hal itu tidak sampai merusak akidahnya. Selain itu, riwayat-riwayat ini juga tidak didukung oleh Alquran dan hadis-hadis baginda Muhammad Saw. Sebagaimana telah dijelaskan, hukum meriwayatkan riwayat seperti ini tidak menjadi masalah, atau boleh, walaupun tidak menjelaskan status keisra’iliyatannya. Jadi wajar ketika ulama tafsir memasukkan riwayat seperti ini dalam tafsir mereka, dan mereka tidak menjelaskan statusnya.
Semoga bisa memberikan pencerahan ya…
http://seberkascahyarembulan.wordpress.com/2013/02/23/menyingkap-kebenaran-kisah-cinta-zulaikha-dan-nabi-yusuf-as-kajian-tingkat-lanjut-tafsir-surat-yusuf/

Sekilas Tentang Muhammad bin Ishaq (Ibnu Ishaq) serta Riwayat yang Ia Bawakan dalam Hadits dan Sirah

Muhammad bin Ishaq atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Ishaq (wafat tahun 151 H) merupakan salah satu murid dari Az-Zuhri. Selain penulis kitab Sirah, ia pun dikenal sebagai penulis kitab Maghazi (kisah-kisah peperangan).
Kitab Sirah yang ditulis oleh Ibnu Ishaq yang sampai pada kita adalah berjudul Sirah Ibnu Hisyam yang merupakan mukhtashar/ringkasan dari Sirah Ibnu Ishaq.
Menurut para ulama muhaqqiq, riwayat-riwayat yang ada dalam kitab Sirah Ibnu Ishaq, berisi hadits-hadits hasan yang bercampur dengan hadits-hadits dla’if. Riwayat-riwayat yang ia bawakan tidaklah sampai pada derajat shahih, namun hanya sampai pada derajat hasan saja dengan syarat ia menyatakan secara terang (sharih) penyimakan haditsnya [1] karena ia seorang perawi mudallis.
Ibnu ‘Ady berkata :
وقد فتشت أحاديثه فلم أجد في أحاديثيه ما يتهيأ أن يقطع عليه بالضعف، وربما أخطأ أو يهم، كما يخطيء غيره، ولم يتخلف في الرواية عنه الثقات والأئمة وهو لا بأس به
”Saya telah meneliti hadits-haditsnya, dan saya tidak melihat ada hadits-hadits yang pasti kedla’ifannya. Terkadang ia melakukan kesalahan, sebagaimana yang juga dilakukan oleh orang lain; selama tidak ada penyelisihan riwayat darinya dari kalangan perawi yang terpercaya dan para imam, maka riwayatnya tidak masalah (dapat diterima)”.
Hal ini adalah kesaksian yang sangat penting. Bukan karena kedudukan dan sikap keras Ibnu ‘Ady dalam pen-tausiq-an ini saja, tetapi hal itu berdasarkan pada proses pengujian riwayat. Bukan sekedar penukilan perkataan para ahli naqd sebelumnya yang menuduh Ibnu Ishaq seputar masalah qadar (yaitu fitnah Qadariyyah), tasyayu’ (kecenderungan pada pemikiran Syi’ah), tadlis,[2] dan tashhif (salah tulis). Hal itu sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Yahya bin Sa’id Al-Umawi :
ابن إسحاق يصحف في الأسماء لأنه إنما أخذها من الديوان
”Ibnu Ishaq sering melakukan tahshhif (kesalahan dalam penulisan) tentang nama-nama karena ia mengambilnya dari kitab-kitab diwan”. [3]
Bahkan ia pernah dituduh melakukan kebohongan terhadap sebuah riwayat dari Fathimah istri Hisyam bin ‘Urwah bin Zubair. Akan tetapi, tuduhan tersebut tidak terbukti.  Beberapa imam yang menyanggah kecurigaan yang dilontarkan oleh para kritikus tersebut terhadap Ibnu Ishaq, diantaranya adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Hafidh Adz-Dzahabi berkata :
لا ريب أن ابن إسحق كثَّر وطوَّل بأنساب مستوفاة، اختصارها أملح، وبأشعار غير طائلة حذفها أرجح، وبأثار لم تصحح، مع أنه فاته شيء كثير من الصحيح لم يكن عنده، فكتابه محتاج إلى تنقيح وتصحيح ورواية ما فاته
”Tidak ragu lagi bahwa Ibnu Ishaq itu sering memperbanyak dan memperpanjang silsilah-silsilah nasab para perawi yang sebenarnya tidak perlu, menyisipkan syair-syair pendek yang seharusnya dibuang, dan menyebutkan atsar-atsar yang tidak shahih. Namun di sisi lain, ia melewatkan banyak hal dari riwayat-riwayat shahih yang tidak ada padanya. Jadi, kitabnya perlu diteliti kembali, dan riwayat-riwayatnya harus di-tashhih lagi”.[4]
Beliau berkata lagi :
ابن إسحق حجة في المغازي وله مناكير وعجائب
”Ibnu Ishaq adalah hujjah bagi karya Maghazi. Akan tetapi ia punya kelebihan dan kekurangan”.[5]
Al-Hafidh Adz-Dzahabi telah berusaha keras untuk menerangkan tingkatan hadits Ibnu Ishaq. Ia pun mengatakan :
وله ارتفاع بحسبه، ولا سيما في السيرة، وإما في أحاديث الأحكام فينحط حديثه فيها عن رتبة الصحة، إلا فيما شذّ فيه فإنه يعد منكرا
”Hadits-haditsnya tentang sirah cukup bagus. Sementara hadits-haditsnya tentang hukum berada di bawah tingkatan hadits shahih. Kecuali hadits yang terdapat keganjilan (syadz) di dalamnya, maka ia dihitung sebagai hadits munkar”.[6]
Al-Hafidh Al-‘Iraqi mengatakan :
المشهور قبول حديث ابن إسحق إلا أنه مدلس فإذا صرّح بالتحديث كان حديثه مقبولا
”Menurut pendapat yang masyhur bahwa hadits riwayat Ibnu Ishaq dapat diterima, meskipun ia seorang perawi yang mudallis. Apabila telah ada penegasan yang jelas (tentang penyimakannya), maka haditsnya dapat diterima”.[7]
Al-Hafidh Adz-Dzahabi mengatakan :
والذي يظهر لي أن ابن إسحق حسن الحديث صالح الحال صدوق، وما تفرّد ففيه نكارة، فإن في حفظه شيئا، وقد احتج به الأئمة
”Dan yang jelas menurut saya, Ibnu Ishaq adalah hasanul-hadits, perilakunya baik, dan jujur (shaduq). Dan apa-apa yang ia bersendirian (dalam meriwayatkan hadits), maka terdapat pengingkaran di dalamnya. Meskipun ada sedikit masalah dalam hafalannya, namun para ulama menjadikannya sebagai hujjah”.[8]
Adz-Dzahabi juga mengatakan :
كان أحد أوعية العلم حبرا في معرفة المغازي والسيرة، وليس بذلك المتقن، فانحط حديثه عن رتبة الصحة، وهو صدوق في نفسه مرضي
”Ibnu Ishaq adalah salah seorang yang sangat menguasai riwayat-riwayat tentang peperangan-peperangan dan sirah. Sayang ia tidak mutqin (teliti) sehingga peringkat haditsnya di bawah tingkat shahih. Ia adalah orang yang sangat jujur terhadap dirinya sendiri dan disukai”.[9]
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan :
ما ينفرد به وإن لم يبلغ الصحيح فهو في درجة الحسن إذا صرح بالتحديث....وإنما يصحح له من لا يفرق بين الصحيح والحسن، ويجعل كل ما يصلح للحجة صحيحا، وهذه طريقة ابن حبان ومن ذكر معه
”Selama ia tidak bersendirian (dalam meriwayatkan hadits), meskipun tidak sampai pada derajat hadits shahih, namun merupakan hadits yang berderajat hasan dengan syarat ada penegasan penyimakan haditsnya........ Dan yang menganggap shahih haditsnya hanyalah orang yang tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan hadits hasan, dan orang yang menganggap semua hal yang baik untuk hujjah disebut hadits shahih. Itulah anggapan Ibnu Hibban dan kawan-kawannya”.[10] 
Ini tidak berarti menguatkan semua riwayatnya yang terdapat dalam kitabnya tentang sirah. Ada beberapa riwayat di dalamnya riwayat-riwayat munkar dan munqathi’. Al-Hafidh Adz-Dzahabi berkata :
صالح الحديث ما له عندي ذنب إلا ما قد حشاه في السيرة من الأشياء المنكرة والمنقطعة
Shaalihul-hadiits. Tidak ada padanya satu cacat menurutku, kecuali apa-apa yang telah ia masukkan dalam sirah riwayat-riwayat munkar dan munqathi’ .[11]
Al-Hafidh Ibnu Hajar telah berhasil men-takhrij hadits-hadits munqathi’ dalam Sirah Ibnu Hisyam pada sebuah catatan tersendiri. Sayang sekali, catatan itu hilang.[12]
Para perawi sirah yang biasa meriwayatkan dari Ibnu Ishaq adalah :
a.    Ziyad bin Abdillah Al-Baka’i. 
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari jalur sanadnya.
b.    Bakr bin Sulaiman.
Khalifah bin Khayyath meriwayatkan dari jalur sanadnya dalam kitabnya At-Tarikh.
c.    Salmah bin Al-Fadhl Al-Abrasy.
Mengomentari Ath-Thabari berkomentar tentangnya :
ليس من لدن بغداد إلى إن يبلغ خراسان إثبت في ابن إسحق من سلمة بن الفضل
”Mulai dari Baghdad hingga ujung Khurasan, tidak ada orang yang paling memahami Ibnu Ishaq dengan baik selain Salmah bin Al-Fadhl”.[13]
d.    Yunus bin Bakir (wafat tahun 195 H).
Menurut Ibnu Hajar, ia adalah seorang perawi yang jujur (shaduuq), tetapi sering melakukan kesalahan.[14] Menurut Adz-Dzahabi, Yunus adalah orang yang hasan haditsnya (hasanul-hadits). Imam Muslim mengetengahkan riwayat-riwayatnya dalam syawaahid, bukan dalam ushul. Demikian pula yang dilakukan oleh Al-Bukhari.[15]  Sementara itu, secara tegas Abu Dawud As-Sijistani mengatakan bahwa Yunus bin Bakir bukanlah hujjah. Ia hanya mengambil ucapan Ibnu Ishaq, yang kemudian ia sambungkan begitu saja dengan hadits-hadits.[16]
e.    Ibrahim bin Sa’d Az-Zuhri (wafat tahun 185 H).
Ahmad bin Muhammad bin Ayyub – pengarang kitab Al-Maghaaziy - meriwayatkan dari jalur sanadnya. Dan itu adalah riwayat yang biasa dijadikan perantara oleh Al-Hakim An-Naisabury untuk mengutip dalam Al-Mustadrak.[17]
f.     Harun bin Abi ‘Isa, yang riwayatnya dijadikan pegangan oleh Ibnu Sa’ad.
g.    Abdullah bin Idris Al-Audi.
Ibnu Sa’ad juga biasa meriwayatkan darinya.
h.    Yahya bin Sa’ad Al-Umawi, yang berhasil menulis kitab tentang Maghazi setelah banyak mendengar dari Ibnu Ishaq, dan ia juga memberikan keterangan-keterangan tambahan.[18]
Terdapat beberapa perbedaan di antara riwayat-riwayat tentang sirah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Ishaq selama beberapa waktu pernah melakukan pembetulan atau perbaikan pada kitab sirahnya.
Nampak jelas bahwa riwayat Yunus bin Bakir adalah riwayat yang paling dahulu, dan bahwa Al-Baka’i membawa naskah yang pernah dibetulkan dan diperbaiki oleh Ibnu Ishaq. Sebagai contoh, adanya perbedaan riwayat tersebut bahwa dalam riwayat Al-Baka’i, Ibnu Ishaq menyebutkan nama Abdullah bin Mas’ud dalam rombongan hijrah ke Habasyah yang kedua.[19] Sementara dalam riwayat Yunus bin Bakir, nama Abdullan bin Mas’ud disebut-sebut dalam rombongan ke Habasyah yang pertama.[20]
Contoh lain, disebutkan dalam riwayat Al-Baka’i bahwa Ja’far bin Abi Thalib adalah orang yang berbicara kepada An-Najasyi atas nama kaum muslimin. Akan tetapi dalam riwayat Yunus bin Bakir disebutkan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan lah yang berbicara kepada An-Najasyi, sementara Ja’far bin Abi Thalib hanya sebagai penerjemah saja. Akan tetapi, Ibnu Ishaq tetap mengomentari riwayat ini dengan berbagai alasan dalam rangka menafikkan kebenarannya.[21]
Contoh yang lain lagi, adalah apa yang dituturkan sendiri oleh Ibnu Ishaq dalam riwayat Yunus bin Bakir bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika rajin mengirimi surat kepada para penguasa di muka bumi, beliau juga tidak ketinggalan mengirimkan sepucuk surat kepada An-Najasyi Al-Ashham yang berisi ajakan agar ia bersedia masuk Islam.[22]  Sementara dalam riwayat Al-Baka’i, tidak disinggung-singgung nama Al-Ashham.[23] Hal itu membuktikan bahwa Ibnu Ishaq telah mengadakan perbaikan atau pembetulan pada sirahnya. Disebabkan pada saat itu An-Najasyi Al-Ashham sudah masuk Islam. Jadi surat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tadi pasti ditujukan kepada An-Najasyi generasi yang berikutnya, seperti yang ditegaskan oleh Al-Imam Muslim.[24]
Kesimpulannya : Ibnu Ishaq adalah perawi mudallis yang kedudukannya tidak sampai pada tingkat shahih. Haditsnya diterima dan berkedudukan pada tingkatan hadits hasan jika ia tidak bersendirian dan menegaskan tentang penyimakannya terhadap hadits yang ia terima.
Wallaahu a’lam.




[1]        Yaitu dengan perkataan tegas yang menunjukkan kebersambungan sanad : haddatsanaa (telah menceritakan kepada kami), akhbaranaa (telah mengkhabarkan kepada kami), dan yang sejenisnya.
[2]        Siyaru A’laamin-Nubalaa’  7/139.
[3]     Tashhiifaatul-Muhadditsiin oleh ‘Askariy 1/26.
[4]     Idem,  6/116
[5]     Al-‘Ulluw lil-’Aliyyil-Ghaffar hal. 39
[6]     Siyaru A’lamin-Nubalaa’ 7/141
[7]     Tharhut-Tatsrib Syarah At-Taqrib oleh Al-‘Iraqi, 8/72
[8]     Mizaanul-I’tidal oleh Adz-Dzahabi, 3/475
[9]     Tadzkiratul-Huffadh oleh Adz-Dzahabi, 1/173
[10]    Fathul-Baari oleh Ibnu Hajar 11/163
[11]    Mizaanul-I’tidal oleh Adz-Dzahabi 11/469
[12]    Unwanul-Majdi 1/15
[13]    Tahdzibut-Tahdzib oleh Ibnu Hajar 4/154
[14]    Tahdzibut-Tahdzib 2/384 dan Siyaru A’lamin-Nubalaa’ 9/340
[15]    Tahdzibut-Tahdzib 11/434-435
[16]    Mizaanul-I’tidal 4/478
[17]    Al-Mustadrak oleh Al-Hakim 3/128
[18]    Tarikh Baghdad oleh Al-Khathib 14/133
[19]    Sirah Ibnu Hisyam 1/358
[20]    As-Siyaru wal-Maghazi oleh Ibnu Ishaq, tahqiq Suhail Zikaar hal. 176 dan 228
[21]    Idem hal. 218
[22]    Sirah Ibnu Ishaq tahqiq Muhammad Hamidullah hal. 210
[23]    Sirah Ibnu Hisyam 4/279.
[24]    Shahih Muslim 3/1397.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/12/sekilas-tentang-muhammad-bin-ishaq-ibnu.html

 Wahhab bin Munabbih bin Kamil Al-Yamani Ash-Shan’ani, adalah seorang Tabi’i yang tsiqah. Riwayat Hidupnya disebutkan dalam Tahdzibut Tahdzib II : 166 dan Hilyatul Auliya IV : 23

 

WAHB BIN MUNABIH AL YAMANI



NASABNYA


Beliau adalah Wahb bin Munabbih bin Kamil bin Siyaj Al Aswar Al Imam . Abu Abdullah Al Abnawy Yamani , Adz Dzimary As Shan'any , saudara Hamam bin Munabbih dan Muaqqal bin Munabbih dan Ghilan bin Munabbih .
Beliau di lahirkan pada masa pemerintahan Usman bin Affan r.a tahun 34 Hijriah . Beliau bertemu dengan para sahabat Nabi SAW di antaranya adalah : Ibnu Abbas , Abu Hurairah , Abu Sa'id , Nu'man bin Basyir, Jabir , Ibnu Umar , Abdullah bin Amr bin Ash , Thawus dan beberapa tabi'in yang lain .
Riwayatnya dalam musnad itu sedikit , hanyasanya kecenderungan ilmunya ( penguasaan ) pada cerita Isra'iliyat dan mushaf mushaf ahli kitab .
Imam Ahmad mengatakan adalah Wahb dari keturunan Persi , dan baginya kemulyaan . 'Ajalany berkata : " Beliau seorang tabi'in yang tsiqaah , ia adalah seorang qadhi ( hakim ) di Shan'a " .
Abu Zar'ah dan Nasa'i mengatakan : " tsiqaah " .
Beliau adalah seorang tabi'in yang mulia . Ia mengetahui kitab kitab sebelum Al Qur'an turun . Beliau adalah orang yang shaleh , banyak hukum dan nasehat nasehat yang diambil dari beliau .

KEHIDUPANNYA

Dari Ja'far bin Sulaiman , dari Abdus Shamad bin Muaqqal berkata : " Saya menemani paman saya Wahb beberapa bulan ,beliau shalat subuh dengan wudhu sholat isya' " .
Berkata Salim bin Ma'mun Al Khawash dari Muslim Az Zanjy berkata : " Wahb bin Munabbih selama 40 tahun , tidak tidur diatas kasur dan selama 20 tahun tidak menjadikan shalat isya' dan shubuh kecuali hanya satu kali wudhu " .

Beliau pernah mengatakan ( Wahab bin Munabbih ) :
" Perumpamaan orang yang belajar ilmu tetapi tidak beramal dengannya , seperti seorang dokter yang mempunyai obat tetapi tidak berobat dengannya ( obat itu ) " .

Dari Munir Maula Fadl bin Abi 'Iyasy berkata : " Saya duduk bersama Wahb bin mUnabih , tiba tiba seorang laki laki datang menghampiri beliau seraya berkata : " Saya melewati seseorang yang mencacimu , maka beliaumarah danberkata : " Apakah syetan tidak mendapatkan utusan selainmu ? kemudian saya tetap di sisinya sampai orang yang mencacinya datang kepadanya , kemudian ia salam Wahb dan beliaupun menjawab salamnya , beliau mengulurkan tanganya dan menjabatnya , lalu mendudukan di sampingnya " .
Wahb berkata : " Dawud As berkata : " Ya Alah ! siapa saja orang fakir yang meminta kepada orang yang kaya , lalu dia pura pura tuli , maka saya meminta kepadaMu , jika dia berdo'a kepadaMu maka janganlah Engkau kabulkan , dan jika dia meminta kepadaMu maka janganlah Engkau beri dia " .

Abdul Mun'in bin Idris meriwayatkan dari bapaknya dari Wahb berkata : " Luqman berkata kepada anaknya : " Sesungguhnya perumpamaan orang yang berdzikir dan orang yang lalai bagaikan cahaya dan kegelapan " .
Beliau berkata : " Saya membaca dalam Taurat 4 baris berturut turut : " Barang siapa yang membaca Kitab Allah dan menyangka Dia tidak mengampuninya , maka dia termasuk orang yang beristihza' dengan ayat ayat Alah , dan barang siapa yang mengeluh dengan musibah yang menimpanya , maka ia mengeluh kepada Alah Ta'ala , barang siapa yang menyesal atas sesuatu yang hilang darinya ; dari dunia maka ia membenci ketentuan Allah , dan barang siapa yang tunduk kepada kekayaan , maka sepertiga agamanya akan pergi " .
Beliau berkata : " Saya membaca dalam Taurat : " Rumah apa saja yang di bangun dengan kekuatan orang yang lemah , maka kesudahanya akan roboh , dan harta yang di kumpulkannya dari barang yang haram , maka kefakiran akan cepat datang kepada keluarganya " .

Abdulah bin Mubarak berkata : " Telah berkata kepada kami Muammar dari Muhammad bin Umar berkata :" Saya mendengar Wahb berkata : " Saya mendapatkan di sebagian kitab : Allah Azza Wajalla berfirman : " Apabila hambaKu mentaatiKu , maka aklan Aku kabulkan do'anya sebelum dia berdo'a , dan Saya akan memberinya sebelum dia meminta , dan jika hambaKu mentaatiKu sekalipun penduduk bumi dan langit berbuat jahat kepadana , maka akan Aku berikan kepadanya jalan keluar . Dan jika hambaKu bermaksiat kepadaKu , maka akan Aku potong tanganya dari pintu pintu langit ( do'anya ) dan Aku jadikan di udara , dan jika salah satu makhluqKu menginginkan sesuatu darinya , maka tidak ada yang menghalanginya " .

Berkata Utsman bin Abi Syaibah ; " Telah berkata kepada kami Muhammad bin Imaran bin Abi Laila , telah berkata kepada kami Shilah bin Ashim Al Murady dari bapaknya dari Wahb berkata : " Tatkala Adam As di turunkan dari Janah , Ia merasa kesepian karena merasa kehilangan suara Malaikat , maka Jibril As turun kepadanya dan berkata : " Wahai Adam ! Apakah kamu mau saya ajari sesuatu yangh bermanfaat di dunia dan di akherat ? Adam berkata : " Ya . Jibril As berkata : Katakanlah " Ya Alah ! Sempurnakanlah nikmatMu kepadaku hingga hidup saya berkecukupan , Ya Alah ! wafatkanlah saya dalam keadaan yang baik hingga dosaku tidak membahayakanku , Ya Allah ! selamatkanlah saya dari fitnah dunia dan setiap goncangan di hari kiamat hingga Engkau memasukanku kedalam janah dalam keadaan sehat " .

Imam Ahmad berkata : telah berkata kepada kami Hajaj dan Abu Nashr keduanya berkata : " Telah berkata kepada kami Muhammad bin Thalhah dari Muhammad bin Jahadah dari Wahb dia berkata : " Barang siapa yang beribadah maka akan bertambah kuat , dan barang siapa yang malas akan bertambah rasa malasnya " .
Berkata selainnya : " Sesungguhnya beribadah itu akan mendisiplinkan badan dan melunakkannya , dan sesungguhnya tidur akan membuat badan malas dan mengeraskanya "

Berkata Atha' Al Khurasany : " Qiyamul lail adalah kehidupan bagi badan dan cahaya bagi hati dan wajah , kekuatan di mata dan anggota badan , sesungguhnya seseorang jika qiyamul lail , akan gembira di pagi harinya , dan jika etinggalan qiyamul lail , maka akan sedih di pagi harinya , seakan akan dia kehilangan sesuatu dan telah hilang baginya sesuatu yang bermanfaat " .

Telah berkata kepada ami Isma'il bin Abdull Karim , telah berkata kepada kami Abdus Shamad , sesungguhnya ia mendengar Wahb di atas mimbar : " Hafalkanlah dariku tiga perkara ! Janganlah kamu menuruti hawa nafsu dan teman yang jahat serta ta'ajubnya seseorang kepada dirinya sendiri ".

Imam Ahmad berkata lagi : " Telah berkata kepada kami Ibrahim bin ' Uqail , telah berkata kepada kami 'Imram bin Hudzail dari Wahb bin Munabbih dia berkata : " Tidaklah seseorang dari anak Adam As kecuali ada syetan yang diutus kepadanya , maka orang kafir makan dan minum bersamanya , dan orang mukmin ia menjauhinya , kemudian menunggu kapan ia akan lalai , kemudian anak Adam As yang paling di senangi syetan adalah tukang tidur dan makan " .

Berkata Muhammad bin Ghalib , telah berkata kepada kami Abu Mu'tamar bin Abi Basyar bin Manshur dari Dawud bin Abi Hindun dari Wahb dia berkata : " Saya telah membaca dalam kitab kitab yang di turunkan dari langit kepada para Nabi : " Sesungguhnya Allah Ta'ala berKata kepada Ibrahim Khalilulah : " Apakah kamu tahu kenapa Aku menjadikanmu kekasihKu ? Nabi Ibrahim As menjawab : " Tidak ". Allah berfirman : " Untuk meninggikan derajat kedudukanmu di SisiKu dengan sholat ".

Berkata Ishaq bin Rahawaih : Telah berkata kepada kami Abdul Malik bin Muhammad Ad Dimary dia berkata : telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin sa'id bin Zamanah , dia berkata : telah mengabarkan kepada bapakku , dia berkata : di katakan kepada Wahb : " Bukankah kunci janah itu Laa Ilaha Ilallah , dia menjawab : " Ya ", akan tetapi tidaklah di katakan kunci kecuali ada geriginya , maka barang siapa membuka pintu dengan kunci yang bergerigi , terbukalah pintu itu . Dan barang siapa yang datang membuka pintu tanpa kunci yang bergerigi , maka tidak akan terbuka pintu itu ".

Wahb bin Munabbih berkata :" Pokok seluruh kenikmatan itu ada 3 :
1. Nikmat Islam yang tidak sempurna ni'mat kecuali dengannya
2. Ni'mat sehat yang hidup tidak akan baik kecuali dengannya
3. Ni'mat kaya yang tidak sempurna kecuali dengannya ".

Berkata Haitsam bin amil : telah berkata kepada kami Shaleh Al Mary dari Aban , dari Wahb dia berkata : " Saya membaca dalam suatu kitab : " Kufur itu ada 4 rukun ; salah satu rukunya adalah kemarahan , kemudian syahwat , kemudian tama' , kemudian rukun yang terakhir adalah ketakutan " .

Diriwayatkan dari Abi Dunya , sesungguhnya Wahb berkata : " Ada 3 hal yang jika ada pada diri seseorang maka akan mendapat kebaikan ; tiga hal itu adalah berlapang dada , sabar terhadap celaan , dan berbicara yang baik " .
Beliau mengatakan : " Iman itu pakaian , sedangkan bajunya adalah taqwa dan hiasannya adalah malu , sedangkan hartanya adalah faqih ( pemahaman ) .
" jika ada orang yang memujimu , apa yang tidak ada pada dirimu , maka janganlah kamu mempercayainya jika dia tidak mencelamu apa yang tidak ada pada dirimu ".


WAFATNYA

Berkata Walid Abdur Razzaq dan Abdus Shamad bin Muaqqal dan Mu'awiyah bin Shaleh : " Wahb bin Munabbih meninggal pada tahun 114 Hijriah , bulan Muharram . Ada yang mengatakan pada bulan Dzulhijjah tahun ke 113 Hijriyyah di San'a , kuburnya berada di seda Asham sebelah barat Bashra " . Imam Ibnu Katsir tidak mendapatkan kepastian tentang wafatnya .
Wallahu A'lam .

REFERENSI

1. Al Bidayah wa Nihayah Imam Hafidz 'Imadudin Abi Fida Ismail bin Katsir Al Qurayyi Ad Dimasyqyi , jilid : 9 , Maktabah As Shafa
2. Siyaru 'Alam Nubala' , Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Ad Dzahaby jilid : 5 , Darul Fikr  

http://pojokarena.blogspot.com/2011/01/wahb-bin-munabih-al-yamani-nasabnya.html

 

Senin, 15 Juli 2013

Kajian Do'a Pernikahan

Banyak sekali doa-doa pernikahan yang ada di kalangan kaum muslimin, untaian kata katanya begitu indah saling mendoakan antara sesama muslim dalam acara atau resepsi pernikahan, contoh-contoh doa yang sering kita dengar  dan baca diantaranya :
Ya Allah,
Andai Kau berkenan, limpahkanlah kepada kami cinta yang Kau jadikan pengikat rindu
Rasullullah dan Khadijah Al Qubro, yang Kau jadikan mata air kasih sayang Imam Ali dan Fatimah Az-Zahra
yang Kau jadikan penghias keluarga Nabi Mu yang suci.
Ya Allah,
Andai semua ini tak layak bagi kami, maka cukupkanlah permohonan kami dengan ridho-Mu
Jadikanlah kami sebagai suami istri yang saling mencintai dikala dekat
Saling menjaga kehormatan dikala jauh, Saling menghibur dikala duka
Saling mengingatkan dikala bahagia, saling mendoakan dalam kebaikan dan ketaqwaan
Saling menyempurnakan dalam peribadatan.
Ya Allah,
Sempurnakanlah kebahagiaan kami dengan menjadikan perkawinan ini sebagai ibadah kepada-Mu
dan bhakti kepada kepengikutan dan cinta kami kepada sunnah keluarga Rasul-Mu.
(Dalam Matsnawi – Maulana Jalaludin Rumi)
Tapi ternyata doa-doa yang shahih adalah doa-doa yang berasal dari hadits Rasulullah SAW yang lebih harus di utamakan, berikut doa yang lebih shahih:
باَرَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ
“Semoga Allah memberi berkah padamu, semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” (HR. Abu Dawud (1819), Tirmidzi (1011), dan yang lainnya, dishohihkan oleh Albani)
Berikut penjelasan arti dan makna doa tersebut:
Bismillah, wash sholaatu was salaamu alaa rosuulillaah, wa alaa aalihii wa shohbihii wa man waalaah…
Sudahkah anda hapal apa yang diajarkan Nabi -shollallohu alaihi wasallam- untuk mendoakan kedua mempelai ketika melangsungkan pernikahan? Jika belum, maka sekarang jangan lewatkan kesempatan untuk menghapal salah satu doa tersebut, hingga kita bisa menghidupkan salah satu sunnah Rosul -shollallohu alaihi wasallam- berikut ini:
باَرَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ
Pertanyaannya selanjutnya, tahukah anda, apa arti dari doa tersebut? Inilah terjemahan harfiyah-nya: “Semoga Allah memberi berkah padamu, semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” (HR. Abu Dawud (1819), Tirmidzi (1011), dan yang lainnya, dishohihkan oleh Albani)
Lagi-lagi ada pertanyaan: Bisakah pembaca membedakan makna “padamu” dan “atasmu” dalam terjemah harfiyah doa walimah di atas?! Mungkin ada yang bilang bisa, tapi penulis yakin banyak yang bilang tidak…
Marilah kita lihat beberapa terjemahan versi lainnya, yang bisa lebih memperjelas makna doa di atas:
Terjemahan pertama:
“Semoga Allah memberikan berkah (yang bermanfaat) untukmu, semoga Dia (juga) memberikan berkah (yang turun) atasmu, dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Terjemahan kedua:
“Semoga Allah memberkahimu (dalam urusan duniamu), semoga Dia (juga) memberkahimu (dalam urusan akhiratmu), dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Terjemahan ketiga:
“Semoga Allah memberkahimu (di saat rumah tanggamu harmonis), semoga Dia (tetap) memberkahimu (di saat rumah tanggamu lagi renggang), dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Terjemahan keempat:
“Semoga Alloh memberkahi (istrimu) untukmu, semoga Alloh menurunkan berkah atasmu (dalam menafkahinya dan memudahkan rizkinya), dan semoga Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Terjemahan kelima:

“Semoga Alloh memberkahi dirimu (dalam pernikahan ini), semoga Alloh juga memberikan berkah atas (anak dan keturunan)-mu, dan semoga Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Terjemahan keenam
“Semoga Alloh memberikan berkah pada (hak)-mu (dari pernikahan ini), semoga Alloh juga memberikan berkah atas (kewajiban)-mu (karena pernikahan ini), dan semoga  Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Lho… yang bener aja! kok bisa, doanya satu kok maknanya beda-beda gitu?!… Dari mana datangnya kata-kata yang ada dalam kurung-kurung itu?!… Wah, dari awal tulisan sudah banyak nanya, e… di tengah tulisan malah semakin banyak pertanyaan… Ga pa2 lah, pertanyaan yang penting kan pintunya ilmu… dan InsyaAlloh ini termasuk pertanyaan-pertanyaan penting…
Jawaban:
Untuk terjemahan pertama, yang berbunyi:
“Semoga Allah memberikan berkah (yang bermanfaat) untukmu, semoga Dia (juga) memberikan berkah (yang turun) atasmu, dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Kita bisa merujuknya ke perkataan As-Sindy ketika men-syarah hadits diatas, ia mengatakan:
الْبَرَكَة لِكَوْنِهَا نَافِعَة تَتَعَدَّى بِاللَّامِ وَلِكَوْنِهَا نَازِلَة مِنْ السَّمَاء تَتَعَدَّى بِعَلَى فَجَاءَتْ فِي الْحَدِيث بِالْوَجْهَيْنِ لِلتَّأْكِيدِ وَالتَّفَنُّن وَالدُّعَاء مَحَلّ لِلتَّأْكِيدِ وَاَللَّه تَعَالَى اِعْلَمْ
“Berkah itu, karena bermanfaat (untuk hamba) maka dipakailah preposisi “Laam”, dan karena berkah (juga) turunnya dari langit, maka dipakailah preposisi “Alaa”. Oleh karenanya dalam hadits ini dipakai dua-duanya untuk lebih memperkuat makna, dan lebih memvariasikan kata. (Yang demikian itu), karena doa itu momen (yang tepat) untuk memperkuat (makna), wallohu a’lam”. (lihat di syarah As-Sindi untuk Sunan Ibnu Majah, hadits no: 1895, lihat juga di Mirqotul Mafatih 8/377)
Untuk terjemahan kedua, yang berbunyi:
“Semoga Allah memberkahimu (dalam urusan duniamu), semoga Dia (juga) memberkahimu (dalam urusan akhiratmu), dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Mengapa kita mengkhususkan preposisi “Laam” untuk urusan dunia, sedang preposisi “Alaa” untuk urusan akhirat, adakah penjelasan yang mendukungnya?
Terjemahan ini didasarkan pada adanya beberapa nash yang menghubungkan manfaat duniawi dengan preposisi “Laam”, di sisi lain ada beberapa nash yang menghubungkan urusan akherat dengan preposisi “Alaa”, dari sinilah muncul pemaknaan kedua ini, dan diantara nash yang dijadikan sandaran adalah:
Sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا
Dua pelaku teransaksi itu masih dalam khiyar selama belum pisah, lalu jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya diberkahi dalam transaksinya. (HR. Bukhori:1937 dan Muslim: 2825).
Begitu pula sabda beliau berikut ini:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا
“Ya Alloh, berikanlah berkah pada (takaran) sho’ dan (takaran) mud kami” (HR. Bukhori: 1756, dan Muslim: 2339).
Jelas manfaat yang ada dalam dua hadits di atas, adalah manfaat duniawi, dan di situ dipakai preposisi “Laam”.
Di lain sisi, untuk manfaat yang berhubungan dengan akhirat, dipakai preposisi “Alaa”, misalnya berkah atas kenabian:
Firman Alloh ta’ala:
وَبارَكْناَ عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاق
Dan kami berikan keberkahan atasnya (yakni Nabi Ibrohim), juga atas Nabi Ishak. (as-Shoffat: 113)
Sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dalam tahiyat akhir:
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّد
Berikanlah keberkahan atas Muhammad dan keluarganya.
Untuk terjemahan ketiga, yang berbunyi:
“Semoga Allah memberkahimu (di saat rumah tanggamu harmonis), semoga Dia (tetap) memberkahimu (di saat rumah tanggamu lagi renggang), dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Alasannya: Karena preposisi “Laam” dan “Alaa” disandingkan dalam doa ini, berarti keduanya memiliki arti yang berbeda, dan sesuai kaidah bahasa arab, biasanya preposisi “Laam” itu dipakai untuk menunjukkan makna yang baik, sedangkan preposisi “Alaa” digunakan untuk menunjukkan makna yang buruk. Dan keadaan baik ketika berkeluarga adalah ketika terwujud suasana yang harmonis antara keduanya, sedang keadaan yang buruk dalam berkeluarga adalah ketika hubungan keduanya sedang renggang dan banyak masalah. Dari sinilah muncul makna ketiga ini.
Untuk terjemahan keempat, yang berbunyi:
“Semoga Alloh memberkahi (istrimu) untukmu, semoga Alloh menurunkan berkah atasmu (dalam menafkahi dan memudahkan rizkinya), dan semoga Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Kita bisa merujuknya ke kitab Faidhul Qodir, karya Al-Munawi (1/406). Terjemahan ini juga didasari perbedaan preposisi “Laam” dan “Alaa”, tapi dari sudut pandang lain. Dasar pemaknaan ini -wallohu a’lam-, karena makna “Alaa” itu identik untuk menerangkan sesuatu yang datang dari atas, maka ditentukanlah makna rizki dan nafkah dalam doa itu. Alloh berfirman: “Dan di langit itu, terdapat rizki dan apa yang dijanjikan untuk kalian” (Surat Adz-Dzariyat: 22).
Dan karena preposisi “Alaa” dipakai untuk menerangkan datangnya sesuatu dari atas yang berupa rizki dan nafkah, berarti preposisi “Laa” bermakna sebaliknya, yakni untuk menerangkan sesuatu yang dari sesama manusia, dan karena momen doa ini adalah ketika baru mendapat nikmat istri yang halal, maka ditentukanlah kata istri dalam memaknainya, wallohu a’lam.
Untuk terjemahan kelima, yang berbunyi:
“Semoga Alloh memberkahi dirimu (dalam pernikahan ini), semoga Alloh juga memberikan berkah atas (anak dan keturunan)-mu, dan semoga Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Kita bisa merujuknya ke Kitab Mirqotul Mafatih (8/377) dan Faidhul Qodir (1/176). Ini juga penjabaran makna yang didasari oleh perbedaan penggunaan preposisi “Laam” dan “Alaa”. Penjelasannya: Karena keberkahan dari pernikahan itu bergantung dari masing-masing mempelai, maka dipakailah preposisi “Laam” yang menunjukkan makna kepemilikan.
Sedang alasan ditentukannya preposisi “Alaa” untuk makna “anak dan keturunan” adalah, karena tujuan utama pernikahan itu “berputar” pada anak dan keturunan. Dalam bahasa arabnya dikatakan:
لأنّ مَقْصُوْدَ النّكَاحِ يَدُوْرُ عَلَى الذَّراَرِي والنَّسَل
Lihatlah redaksi yang kami cetak merah, kata “yaduru” (berputar/berkutat) dalam bahasa arab, cocoknya diberi preposisi “Alaa”, dan tidak cocok bila diberi preposisi “Laam”. Dengan demikian, doa ini juga mengingatkan kita pada maksud utama kita menikah, yakni untuk mendapatkan anak dan keturunan. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ
Nikahilah wanita yang penyayang dan (berpotensi) banyak anak, karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat lain! (HR. Abu Dawud: 1754, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Albani).
Untuk terjemahan keenam, yang berbunyi:
“Semoga Alloh memberikan berkah pada (hak)-mu (dari pernikahan ini), semoga Alloh juga memberikan berkah atas (kewajiban)-mu (karena pernikahan ini), dan semoga  Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Artian ini juga karena adanya perbedaan preposisi  ”laam” dan “alaa”. Karena biasanya dalam bahasa arab, preposisi “laam” itu digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang menjadi hak dan kepunyaannya, sedang preposisi “alaa” digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang. Seperti dalam sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-:
يا معاذ هل تدري حق الله على عباده، وما حق العباد على الله؟! قلت: الله ورسوله أعلم. قال: فإن حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئا
“Wahai Mu’adz! Tahukah kamu, haknya Alloh atas para hamba-Nya, dan haknya para hamba atas-Nya?!”. “Alloh dan Rosul-Nya lebih tahu hal itu” jawabku. “Haknya Alloh atas para hamba-Nya adalah mereka menyembah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, sedang haknya para hamba atas-Nya adalah Dia tidak akan menyiksa orang yang tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun”.
ِِAsal dari redaksi “حق العباد” adalah “حق للعباد” (artinya: haknya Alloh), sebagaimana dikatakan “بيتي”  asalnya adalah “بيت لي” (artinya: rumahku)… Akan lebih jelas, bila dijabarkan seperti ini:
ذكر في هذا الحديث أربعة حقوق: حقان لله وللعبد, وحقان على الله وعلى العبد
Artinya: “Dalam hadits ini, disebutkan empat hal: 2 hak, (yakni) haknya Alloh dan haknya hamba, dan 2 kewajiban, (yakni) kewajibannya Alloh dan kewajibannya hamba”. Lihatlah bagamana dua preposisi itu mempengaruhi makna. Begitu pula doa di atas, juga bisa diartikan seperti arti ini, wallohu a’lam.
Kesimpulan:
Itulah penjabaran mengapa ada dua preposisi  yang berbeda (“Laam” dan “Alaa”) dalam doa ini. Melihat semua penjabaran makna di atas, kita tidak melihat adanya maknya yang bertentangan, oleh karenanya semua makna tersebut bisa dibenarkan.
Namun menurut pengamatan penulis, di sana ada makna yang paling bagus dan bisa mencakup semua makna yang dijabarkan, yaitu makna pertama, yang disebutkan oleh As-Sindi dalam kitab syarahnya untuk Sunan Ibnu Majah. Mengapa demikian?!
Karena makna tersebut bisa dijabarkan seperti ini: (perhatikan dengan teliti!)
“Semoga Allah memberikan berkah (yang bermanfaat) untukmu”, baik berkah itu dalam urusan dunia maupun akhirat, baik berkah itu disaat rumah tanggamu sedang harmonis atau tidak, baik berkah itu pada rizki dan nafkah yang kau berikan kepada istri atau pada yang lainnya, baik berkah itu dari istrimu atau dari yang lain, baik berkah itu dalam hakmu atau kewajibanmu.
“Semoga Dia (juga) memberikan berkah (yang turun) atasmu”, baik berkah itu dalam urusan dunia maupun akhirat, baik berkah itu disaat rumah tanggamu sedang harmonis atau tidak, baik berkah itu pada rizki dan nafkah yang kau berikan kepada istri atau pada yang lainnya, dan baik berkah itu dari istrimu atau dari keturunanmu, atau dari yang lain, baik berkah itu dalam hakmu atau kewajibanmu.
“Dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”
Lihatlah betapa luas, makna doa ini, dan makna yang luas tersebut bisa diwakili oleh redaksi yang sangat singkat. Inilah diantara mukjizat kenabian beliau -shollallohu alaihi wasallamm-, yang biasa disebut dengan mukjizat “Jawami’ul Kalim” (Kata yang singkat, tapi maknanya padat).
Sekian postingan artikel kali ini, semoga bermanfaat dan menambah khazanah ilmiyah kita, kurang lebihnya mohon maaf…
Walhamdulillahi bini’matihi tatimmus sholihat, Wa Subhanakallohumma wa bihamdika asyhadu allaa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaiik…
Wassalam…
Oleh Addariny, di Madinah, 10 Syawal 1430 / 29 September 2009
http://doapernikahan.wordpress.com/




اَلْحَمْدُ ِللهِ لآاِلهَ ِالاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ. لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ. اَللّهُمَّ اجْعَلْ بَيْنَ قَلْبِ هَذَا الْعَرُوْسِ وَزَوْجَتِهِ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ آدَمَ وَحَوَاءَ وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَخَدِيْجَةَ الْكُبْرَى. اَللّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا فِيْ عُمْرِهِمَا وَرِزْقِهِمَا وَعِلْمِهِمَا وَارْزُقْهُمَا ذُرِّيَّةً صَالِحَةً مُبَارَكَةً نَافِعَةً لَهُمَا وَلِْلإِسْلاَمِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ


DOA AKAD NIKAH

اَ لدُّ عَاءُ بَعدَ عَقدِ ا لنِكَا حِ
َا لحْمَدُ لله رَبِّ ا ْلعَا َلمِينَ وَا لصًَلا َةُ وَالسًَلا مُ عَلَى ‏اَسْرَفِ اْلاَ نْبِيَاءِ وَاْلمُرْ سَلِينَ وَعَلَى اَلِِِهِ وَصَحْبِهِ ‏اَجْمَعَِيَنَ ‏‏.‏
َاللَّهُمَ بَا رِكْ ِلهِذَا اْلعَقدِ اْلمَيْمُونَ, وَاجْعَلْ اِجتِمَا ‏عَهُمَا فِى حُصُولِ خَيِْرٍ يَكُو نَ َوَ اَلــْقِ بَيْنَهُمَا ‏اَلَمَحَبَّةَ وَالـْوَِدَادَ.وَرْازُقْــهُمَا النَّسْلَ الصَّا ِلحَ مِنَ ‏الـْبَنَاتِ وَاْلاَوْلاَدِ حَتَّى يَكُو نَ اْلاَ سْبَاطَ وَاْلاَ حْفَادَ ‏وَوَسِّــعْ عَلَــيْهِمَا الرِّزْقَ وَحْفَظْـهـماَ مِنْ مَكَايِدِ ‏اْلخَلْقِ ِبرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّا حِمِينَ‏.اَللَّهُمَ ‏أَصْلِحْ بَيْنَهُمَا مَعَ الأَ عْمَالِ وَ أَ لـِّـفْ بــَيـْنَ قُلُو ‏ِبِهمَا مَعَ اْلإِ يـْـمَانِ وَ أَ كــْثِرْ اَوْلاَدَ هُمَا مَعَ الصَّا ‏لِحِْينَ.وَلاَ تَجْعَلْ بَيْنَهُمَا فِـتـْـنَةً بِجُوْدِكَ وَكَــرَمِكَ يَا ‏اَرْحَمَ الرَّا حِمِينَ ‏‏. اَللَّهمَّ أَ لــِِّفْ بَينَ قُلـُوْ بِهِمَا ‏كَمَا َأَ لَّـفْتَ بَينَ الَماءِ وَالطِّيـنِ وَاجْعَلْ هُمَا صَا ‏بـِرِينَ كَمَا صَبَرْتَ طِيْنـًا دَاءِمًا اِلَى يَومَ الدِ ّينَ اَللَّهمَ ‏بَارِكْ كُلاً مِنْهُمَا فِى صَا حِبِهِ يَا اَرْحَمَ الرَّا حِمِينَ ‏‏. اَللَّهمَ ارْزُقهُمَا ذُرِّ يَةً صَا لِحَةً قُرَةً عَينً لَهُمَا ‏وَلِلمُسْلِمِينَ اَجَمَعِينَ ‏

Ya Allah kiranya Engkau berkenan melim-‎pahkan kepada M.DARMAWANSYAH, ST,MT ‎Bin Hi.HAIRI FASAH, MM dan RURI ‎NOVRIANI, SP Binti Hi.HERMAN YUSUF cinta ‎yang Kau jadikan pengikut Rasulullah dan ‎Khadijah Al-Kubra, jadikan air mata kasih ‎sayang Cholifah Ali Bin Abi Tholib dan Fatimah ‎Az-Zahra yang Engkau jadikan penghias ‎keluarga Nabi Mu yang Suci.‎

Ya Allah jadikanlah M.DARMAWANSYAH, ‎ST,MT Bin Hi.HAIRI FASAH, MM dan RURI ‎NOVRIANI, SP Binti Hi.HERMAN YUSUF ‎sebagai Suami-Isteri yang saling mencintai ‎dikala dekat, saling menjaga kehormatan dikala ‎jauh, saling menghibur dikala duka, saling ‎mengingatkan dikala bahagia, saling ‎mendo’akan dalam kebaikan dan ketaqwaan ‎dan saling menyempurnakan dalam ‎peribadatan.‎

Ya.. Allah… sempurnakan kebahagiaan mereka ‎berdua dengan menjadikan pernikahan ini ‎sebagai Ibadah kepada Mu dan bukti ‎pengikutan dan Cinta mereka berdua kepada ‎Sunnah keluarga Rasul Mu.‎

Ya.. Allah… bimbing dan lindungilah mereka ‎berdua dalam membentuk keluarga Sakinah ‎Mawadah Warohmah dan berikanlah mreka ‎berdua keturunan yang Shaleh – Sholihah yang ‎berbakti kepada Mu dan taat kepada kedua ‎orang Tua. ‎

Ya Allah Ya Robbana, Balaslah jasa kedua ‎orang tua mereka yang telah mendidik dan ‎memelihara mereka sejak kecil sampai dewasa, ‎karena hanya Engkaulah Yaa Allah yang kuasa ‎membalas jasa setiap orang tua.‎ 


http://mmunzir.blogspot.com/2010/03/kumpulan-doa-acara-dinas-pemda-lampura.html
◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Browser

Copyright 2012 gratis_arif: Juli 2013 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates